Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

Jumat, 10 Januari 2020, 12:39:00 PM WIB
Last Updated 2020-01-10T05:59:25Z
Sejarah dan Budaya

KI AGENG GIRING III

Advertisement

                   SIRAH MAQOSIDANA
        (Sambung Ruh Ulama Nusantara)

Oleh : Sofyan Mohammad

MATALENSANEWS.com-Dalam berbagai kisah yang tertulis dalam Babad tanah Jawi maupun cerita yang berkembang turun temurun maka sosok ulama yang berjuluk Ki Ageng Giring III adalah legenda yang tidak dapat dipisahkan dengan terbangunnya kerajaan Mataram Islam yang merupakan salah satu cikal bakal bersatunya Nusantara.
   
Dikisahkan Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pamanahan sejak masih muda merupakan santri dari pada Kanjeng Sunan Kalijogo "guru suci ini tanah jawi". Ketekunan, kesalehan dan ketakdziman kedua santri ini dalam mengamalkan ilmu laku topo broto dan petuah dari pada gurunya maka pada akhirnya membuahkan hasil yaitu keduanya mendapatkan Hidayah yang berupa Wahyu Keraton untuk menjadi leluhur cikal bakal berdirinya kerajaan Mataram Islam yang masih lestari hingga saat ini melalui pewarisnya yaitu Kasunanan Surokarto Hadiningrat, Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat, Mangkunegaran Surokarto dan Paku Alaman Ngayogyokarto yang pada saat ini setia bergabung dalam wadah NKRI.

Dikisahkan dua santri Kanjeng Sunan Kalijogo tersebut telah menerima Wahyu Keraton yang disebut dengan Wahyu "Gagak Emprit" saat keduanya menjalankan laku topo broto di Gunungkidul. Ki Ageng Pemanahan bertapa di Kembang Lampir, Girisekar, Kec. Panggang sedangkan Ki Ageng Giring III laku topo broto di alas Paliyan yang sekarang menjadi tempat makam beliau yaitu di Ds. Sodo, Kec. Paliyan, Gunung Kidul.

Wahyu "Gagak Emprit" diwujudkan dalam bentuk "degan" atau kelapa muda yang pohonnya ditanam sendiri oleh Ki Ageng Giring III buahya yang memetik juga Ki Ageng Giring III namun pada akhirnya air kelapa yang meminum adalah Ki Ageng Pamanahan, hal inilah yang menjadikan terjadinya negoisasi yang berujung pada islah diantara keduanya untuk membagi keturunannya masing masing sebagai Raja Mataram.

Dikisahkan setelah 7 raja dari keturunan Ki Ageng Pamanahan lenggah dalam singgasana sebagai Raja Mataram Islam maka kemudian bergeser ke pada keturunan Ki Ageng Giring III atau persilangan dari keduanya yang meneruskan menjadi Raja Mataram Islam hingga saat ini.

Menurut babad maka Ki Ageng Giring III maupun Ki Ageng Pamanahan sama sama berinduk dari nasab yang sama yaitu Prabu Brawijaya IV dari Retna Mundri yang lebih jauh lagi juga berinduk pada trah Rajasa yaitu Ken Arok - Ken Dedes sehingga pada prinsipnya kedua santri ini juga merupakan saudara sama sama berdarah biru pewaris kerajaan Majapahit.

Semasa hidup Ki Ageng Giring menikah dengan Nyi Talang Warih yang kemudian lahir dua orang anak, yaitu Kanjeng Rara Lembayung yang kemudian menikah dengan Panembahan Senopati anak Ki Ageng Pamanahan yang menjadi Raja pertama Kerajaan Mataram, sehingga Rara Lembayung merupakan Ratu Mataram dengan gelar Kanjeng Ratu Lembayung Niken Purwosari. Adapun anak kedua Ki Ageng Giring III yaitu Ki Ageng Wonokusumo yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV.

Pada tahun 1704 M yaitu ketika Pangeran Poeger naik tahta menjadi Raja yang bergelar Sri Susuhunan Paku Buwono I maka dari sinilah diyakini babak baru sejarah Dinasti Mataram mulai bergeser karena jika diurutkan sejak Panembahan Senopati sebagai Raja Pertama maka Pangeran Poeger merupakan raja ke-8 yang merupakan keturunan Ki Ageng Giring III sehingga islah dan kesepakatan  antara Ki Ageng Gribig III dengan Ki Ageng Pamanahan benar benar terealisasi.

Diyakini jika Pangeran Poeger merupakan keturunan Ki Ageng Giring III atau setidaknya sudah terjadi persilangan genetik antara Ki Ageng Pamanahan dengan Ki Ageng Giring III karena Penambahan Senopati menikah dengan Kanjeng Roro Lembayung sehingga antara Ki Ageng Pamanahan dengan Ki Ageng Giring III juga berbesanan, karenanya keturunan yang didapat juga merupakan persilangan diantaranya, meskipun ada kisah lain yang membenarkan jika Pangeran Puger adalah keturunan Ki Ageng Giring III yaitu dikisahkan dalam Babad Nitik Sultan Agung jika Ratu Labuhan, permaisuri Sinuwun Amangkurat I melahirkan seorang bayi yang kurang sempurna dan bersamaan dengan itu, istri Pangeran Arya Wiramanggala dari Kajoran, Klaten yang masih keturunan Ki Ageng Giring III melahirkan seorang bayi sehat dan tampan, selanjutnya dikisahkan Sinuwun Amangkurat I mengenal Panembahan Kajoran sebagai orang yang linuwih sehingga bayi yang kondisinya kurang sempurna tersebut di bawa ke Kajoran untuk dimintakan penyembuhan dan oleh Panembahan Kajoran merasa inilah momentum untuk menjadikan keturunannya sebagai Raja sehingga dengan cerdik, bayi Pangeran Arya Wiramanggala dikembalikan ke Sinuwun Amangkurat I dengan menyatakan upaya penyembuhan berhasil.

Terlepas dari kebenaran kisah tersebut diatas maka terjadinya persilangan keturunan dalam perkawinan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Roro Lembayung adalah jawaban atas tafsiran jika Wahyu keraton "Gagak Emprit" yang berwujud banyu degan (air kelapa muda) bukan merupakan makna sesungguhnya karena merupakan bentuk sasmita alias bahasa isyarat - isyaroh jika banyu degan itu sebenarnya  wanita, karena dalam banyak literatur kisah menceritakan pembawa wahyu kekuasaan di tanah Jawa ada pada faktor perempuan.

Dikisahkan jika Ki Juru Mertani telah menasehati Panembahan Senopati yaitu walaupun Ki Ageng Pemanahan dapat meminum banyu degan sebagai Wahyu Keraton, tetapi jika tidak bersatu dengan Ki Ageng Giring III maka tidak akan kuat untuk memegang tampuk kekuasaan, atas nasehat tersebut maka Panembahan Senopati selanjutnya memperistri Kanjeng Roro Lembayung dan dari pernikahan tersebut melahirkan Joko Umbaran atau Pangeran Purbaya atau berjuluk Banteng Mataram yang merupakan cucu dari Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring III.

Sewaktu masih hidup maka Ki Ageng Giring III hidup bersahaja sebagai seorang santri di Desa, selain bercocok tanam maka juga menyadap nira kelapa, karenanya di tempat tersebut Ki Ageng Giring III juga memiliki sebutan nama yaitu Ki Panderesan karena profesi penyadap nira (deres legen) kelapa.

Kehidupan sederhana di desa tanpa embel embel kebangsawanan adalah proses Riyadloh (prihatin) atau laku topo broto yang merupakan petuah dari gurunya yaitu Kanjeng Sunan Kalijogo, dengan demikian Ki Ageng Giring III adalah seorang murid yang sangat Takdzim dengan gurunya karenanya bisa menjadi seorang santri yang sholeh dan penuh mabruk hingga dapat mencapai maqom spiritual yang tinggi.

Keistiqomahan proses laku spiritual yang dijalani oleh Ki Ageng Giring III terbukti bisa menjadikan dirinya sebagai salah satu cikal bakal atau pepunden Dinasty Mataram Islam dimana kerajaan ini selama berabad abad lamanya telah berproses menciptakan keluhuran budi dan peradaban di tanah Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya, sehingga amal kebaikannya tersebut merupakan ladang amal sholeh tak berkesudahan hingga saat ini.

Sebagai seorang santri yang menjalani laku spiritual dan hidup di desa maka diyakini semasa hidupnya Ki Ageng Giring III juga berdakwah untuk syiar Islam khususnya di kawasan Gunung Kidul, dikisahkan beliau membimbing umat dengan cara yang sangat sempurna yaitu dengan keteladanan sikap yang mencerminkan Islam yang Rahmatan Lil Alamien, sehingga tak heran jika sampai saat ini Ki Ageng Giring III tetap disegani dan dihormati oleh masyarakat luas meski beliau sudah berada di alam kelanggengan.

Didalam komplek makam Ki Ageng Giring III maka di bagian depan sebelum masuk tajuk terdapat makam para santri atau abdi beliau yang setia yaitu Eyang Purwosodo,  Eyang Mandung, Eyang Manten, Eyang Jampianom dan juru kunci pertama yaitu Madiyo Kromo atau disebut Suto Reko, sedangkan disebelah kanan tajuk makam Ki Ageng Giring III terdapat makam Kanjeng Ratu Lembayung Niken Purwosari.

Bertabaruk dengan sowan ziaroh  ke komplek makam Ki Ageng Giring III adalah salah satu cara bermedium dalam dimensi spiritual untuk napak tilas sejarah sekaligus meneladani segala keluhuran yang telah diwariskannya sehingga kita bisa meneguk barokah dan karomahnya agar dapat menjadi insan yang sholeh bermanfaat marang sapodo podo.

Lahul Fatihah

Sodo, Paliyan, Gunung Kidul D.I.Y. 09/01/20. 02.31 WIB

Note :
Dirangkum dari keterangan Mas Bekel Anom Surakso Fajarudin selaku juru kunci makam serta dari literatur buku sejarah.