Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

Sabtu, 15 Februari 2020, 7:11:00 PM WIB
Last Updated 2020-02-15T12:11:40Z
PENDIDIKAN

PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA DILUAR PERSIDANGAN

Advertisement
Foto : Sofyan Mohammad
Menggagas penerapan metodologi Islah - Rekonsiliasi dalam praktik penyelesaian

MATALENSANEWS.com-Dalam terminologi yang lazim para ahli hukum pidana mainstream tentu mengkualifikasikan hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik yang berarti hukum sebagai pengatur hubungan antara negara dan perseorangan untuk kepentingan umum, karena dapat dilihat memang  pembentukan dan pelaksanaan hukum pidana berhubungan erat dengan eksistensi badan negara,  dengan kedudukan yang demikian maka negara dengan alat penegak hukumnya menjadi dominan dan dapat bertindak reaktif dengan dalil berdasarkan hukum.

Dengan pengertian untuk melindungi kepentingan umum maka dalam hukum pidana menerapkan sanksi istimewa dengan sifatnya yang lebih keras karena adanya bentuk perampasan kemerdekaan yang berupa kurungan atau pemenjaraan mulai dengan hukuman ringan, sedang, berat, seumur hidup bahkan hukuman mati, selain itu ada juga yang berupa hukuman denda maupun penyitaan harta benda, dari sini dapat dipahami jika sangsi dalam hukum pidana bersifat mandiri bahkan dapat dimaknai sebagai bentuk pemaksaan sebagai manifestasi untuk menjaga agar dapat  dituruti atau dilaksanakannya sebuah peraturan hukum karenanya penerapan sangsi pidana tentu dapat menciptakan kaidah baru yang sifat dan tujuannya berbeda dengan kaidah hukum yang telah ada karena menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan tingkat keberadabannya,  misalnya karena adanya konsensi tentang Hak Asasi Manusia maka kemudian bentuk bentuk hukuman juga mulai disesuaikan dengan model metodologi HAM tersebut.

Dengan dalil yang berorientasi pada kepentingan publik maka meskipun pihak yang dirugikan karena insiden perampasan atau pemerasan misalnya korban tidak melapor kepada polisi, akan tetapi polisi tetap berkewajiban untuk menyidik dan memeriksa perkara tersebut dan penuntut umum wajib menuntut perkara tersebut untuk diadili di muka pengadilan, namun demikian dalam hukum pidana ada yang diluar kewenangan negara yanh disebut sebagai sebuah pengecualian yang berupa delik-delik aduan (klacht-delicht) karena memerlukan adanya suatu pengaduan terlebih dahulu dari pihak yang dirugikan agar negara dapat menerapkannya, bertolak dari sini maka dapat diketahui jika dalam hukum pidana terdapat beberapa kriteria yang dapat dijadikan dasar apakah suatu bidang hukum itu merupakan hukum publik dan hukum privat yang dapat  dilihat dari kepentingan apa yang harus dilindungi, jika itu menyangkut perlindungan hukum untuk umum maka disebut publik, namun apabila substansi perlindungan lebih berorientasi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan yang bersifat perseorangan, maka disebut sebagai hukum privat, dari dua kepentingan hukum tersebut maka akan dapat dilihat kedudukan para pihak di mata negara selaku pemangku hukum, jika pihak-pihak yang berperkara dihadapan hukum negara memiliki kedudukan yang sejajar dan bersifat individual maka dikualifikasikan sebagai hukum privat, namun apabila para pihak yang berperkara itu tidak dalam kedudukan yang sejajar, dalam arti satu pihak memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pihak lain, maka hal demikian disebut sebagai hukum publik.

Dalam terminologi teori pidana dalam perspektif untuk perlindungan bagi kepentingan umum maka negara melalui alat kekuasaannya yaitu Penyidik Kepolisian dan Jaksa Penuntut Umum yang dianggap sebagai representasi negara memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan terdakwa di pengadilan, namun apabila pihak dengan pokok perkara dalam kualifikasi delik-delik aduan (klacht-delicht) maka tentu saja ada dimensi hukum privat didalamnya, dalam konteks ini maka hukum pidana merupakan hukum publik yang berdimensi privat.

Dimensi privat ini berkaitan dengan diakuinya hukum adat, hukum kebiasaan maupun hukum agama yang merupakan ciri dari pada bangsa indonesia yang memungkinkan dapat diterapkan guna tercapainya penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan, misalnya diterapkan mekanisme mediasi -tabayun - islah dengan cara musyawarah kekeluargaan yaitu dengan mempertemukan antara pelaku dan korban guna menyelesaikan perkara yang sedang dihadapi.

Dalam terminologi teori pidana positivistik maka penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dianggap tidak relevan karena bertolak dari pengertian jika penyidik kepolisian dan Jaksa Penuntut Umum yang berhak melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara pidana selanjutnya hanya hakim yang berhak memutus bersalah tidaknya seseorang, sehingga perdamaian antara pelaku dan korban tidak dikenal dalam hukum pidana karena ia merupakan bagian dari hukum publik dan dalam praktiknya sering ditemui jika perdamaian diantara para pihak hanya berlaku sebagai hal yang meringankan dalam persidangan yurisdiksi pidana.

Meruntut pada perkembangan zaman dengan pola tingkat keberadaban maka di berbagai negara penyelesaian diluar persidangan mulai diterapkan mekanisme mediasi - islah - rekonsiliasi dalam proses peradilan pidana yang lebih berorientasi pada tercapaianya keadilan melalui perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa pidana berlangsung yang kemudian dikenal dengan model keadilan restoratif (restoratif justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi).

Metode penyelesaian perkara pidana diluar persidangan adalah dengan menggunakan metode pendekatan hubungan pelaku - korban (doer victims relationship) yaitu pembaharuan dari model pendekatan perbuatan atau pelaku (daad dader straftecht). Dalam metode ini maka mengubah pola dari sekadar menghukum dan mengisolasi pelaku, namun adalah pola untuk melakukan 'healing justice" yaitu suatu cara dalam mendekati masalah kejahatan dengan menangani kerusakan dengan tujuan mengurangi kerusakan, dengan proses yang holistik, penghormatan pada para pihak, memperbaiki kerusakan dan menciptakan perubahan.

Model penyelesaian pidana diluar persidangan bertolak dari gagasan restorative justice atau keadilan restoratif yang bertujuan untuk membangun sistem penyelesaian perkara pidana yang memperhatikan kondisi korban yang mana selama ini persidangan pidana yang bertumpu pada pencapain tujuan retributif yaitu pencapain keadilan melalui pembalasan namun dibeberapa hal justru mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya karenanya keadilan yang tercipta adalah keadilan yang semu dan formalistik bukan keadilan yang substantif bagi para pencari keadilan.

Dalam praktik penyelesaian perkara maka dalam dunia advokasi dikenal dengan model penyelesaian litigasi melalui proses persidangan dalam perspektif penyelesaian wind and close dan non litigasi yaitu penyelesaian di luar persidangan dengan perspektif penyelesaian wind wind solutions. Dalam proses litigasi dalam  pola restributif maka para pihak saling berlawanan satu sama lain namun demikian jamak diketahui dalam asas hukum pidana juga berlaku adagium "ultimum remidium" yang merupakan saaran terakhir setelah pilihan penyelesaian sengketa lain menemukan titik buntu alias tidak membuahkan hasil.

Restoratif justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dalam khasanah hukum pidana di Indonesia baru dikembangkan dalam praktik perkara yang menyangkut anak dan perempuan namun dibeberapa hal menurut penulis bertolak dari subtansi pencarian keadilan dan keseimbangan untuk membentuk keberadaban maka restoratif justice nampaknya relevan pula untuk diterapkan dalam perkara pidana lainnya meski itu bukan hanya dalam ranah delik aduan atau klacht-delicht, karenanya dalam praktik bisa dikembangkan model penyelesaian pidana dengan mengemas mekanisme mediasi, musyawarah kekeluargaan, tabayun atau islah yang secara subtansi bertujuan untuk menemukan proses keseimbangan dan keadilan baik dalam perspektif privat maupun publik.

Dalam hukum adat yang merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia dan menjadi salah satu sumber hukum kita maka dalam penyelesaian masalah dikenal istilah musyawarah untuk mufakat yang berarti suatu upaya bersama dengan sikap rendah hati dan etikat baik untuk memecahkan suatu persoalan dengan jalan mencari jalan keluar untuk diambil sebagai keputusan bersama sebagaimana dalam asas dasar negara kita Pancasila pada sila ke empat (4) berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan" yang dapat dimaknai telah terkandung nilai bahwa pentingnya mengutamakan musyawarah untuk mufakat guna mengambil keputusan, karenanya setiap warga negara memiliki kedudukan, hak, serta kewajiban yang sama, termasuk mengeluarkan pendapat dan suaranya dalam bermusyawarah.

Dalam khasanah hukum Islam maka dikenal istilah islah yang memiliki arti yaitu memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan, selanjutnya dalam metodologinya maka islah adalah berusaha untuk menciptakan perdamaian, keharmonisan dan mengajurkan orang untuk berdamai antara satu dan lainnya, serta anjuran agar dapat melakukan perbuatan dan berprilaku baik. Islah sendiri berasal dari bahasa arab الإصلاح, bentuk masdar (infinitif) dari akar kata أصلح-يصلح-إصلاحاً, yang diambil dari komponen dasar ص-ل-ح mengandung dua makna yaitu manfaat dan keserasian agar terhindar dari kerusakan oleh karena terdapat kata imbuhan maka berarti menghilangkan segala sifat permusuhan dan pertikaian antara kedua belah pihak.

Dalam beberapa kajian maka islah secara spesifik memiliki pengertian yang terimplementasi dalam bentuk adanya kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian untuk menyelesaikan pertikaian, dari sini maka akan tercapai tujuan yaitu adanya perbaikan dengan cara mempertemukan adanya perbedaan antar pihak yang berselisih melalui cara konsensus dan rekonsiliasi sebagai pencegahan terjadinya permusuhan dan tumbuhnya rasa iri dengki, dengan demikian islah secara subtansi sama dengan metode rekon­siliasi yang berarti proses merestorasi atau memulihkan suatu ke­adaan agar menjadi seperti keadaan semula akibat adanya perubahan dari keadaan semula itu.

Bertolak dari gagasan model penyelesaian masalah dalam uraian singkat tersebut diatas selanjutnya berdasarkan pengalaman hidup manusia sejak lahir hingga meninggal dunia maka yang dalam dinamikanya mengalami apa yang disebut drngan permasalahan baik yang menyangkut kepentingan hak maupun kepentingan kewajiban dalam lalu lintas kehidupan bersosial terlepas dari makna apakah disebut telah mengalami persoalan hukum atau tidak maka pertanyaannya pilihan mana yang akan ditempuh ketika mengalami permasalahan hidup yang melibatkan pihak lain?

Semoga bermanfaat

Semarang, 13/02/20

Oleh : Sofyan Mohammad
- Advokat sehari hari tinggal di Desa.
- Ketua Umum Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Kota Salatiga