Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

Kamis, 14 Mei 2020, 1:55:00 PM WIB
Last Updated 2020-05-14T06:58:09Z
BERITA UMUM

BEBAN PEMBUKTIAN MELALUI PEMERIKSAAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA

Advertisement
Sebuah evaluasi singkat Persidangan Pidana melalui Video Teleconference di Tengah Pendemi
Oleh :  Sofyan Mohammad

Foto : persidangan Raja dan Ratu Sejagad
MATALENSANEWS.com-Dalam 184 KUHAP menegaskan yang termasuk alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan keterangan terdakwa, kemudian dalam hukum acara juga telah mengatur cara dan bagaimana hakim dalam mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat-alat bukti sesuai dengan peraturan perundang undangan dalam rangka mewujudkan kebenaran materiil.

Dalam khasanah hukum pidana dikenal pembuktian dengan sistem pembuktian berdasarkan undang undang secara negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) yang mana hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah selanjutnya hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Sebagai salah satu bentuk pembuktian dalam hukum pidana maka keterangan saksi menempati urutan yang prioritas, sebab kebenaran adalah terwujudnya kebenaran materiil sehingga keterangan saksi tersebut haruslah keterangan saksi yang mendengar, melihat, dan mengalami peristiwa secara langsung sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 27 KUHAP, namun selanjutnya berdasarkan Putusan MK 65/PUU-VIII/2010 atas permohonan judicial review Yusril Ihza Mahendra terkait kasus sisminbakhum, maka keterangan saksi yang tidak mendengar, tidak melihat, atau tidak mengalami secara langsung suatu peristiwa akan tetapi ada kaitannya juga dapat didengar sebagai saksi dimuka persidangan.

Keterangan saksi sebagai alat bukti perkara pidana maka keterangan saksi bersifat bebas yaitu memberikan keleluasaan kepada Hakim untuk menilainya yang jika dalam sistem anglo saxon maka sebelum menilai keterangan saksi, pada saat persidangan, ‘kredibilitas dan reputasi’ saksi juga menjadi sorotan, terutama oleh penuntut umum dan penasehat hukum terdakwa. Meski dalam form evidence anglo saxon, keterangan saksi (masuk kategori testimonial evidence) tidak menempati posisi teratas dalam urutan alat bukti, tetapi tetap mengambil peranan dalam meyakinkan para juri, hal ini adalah untuk melengkapi barang bukti sebagai alat bukti yang utama karena merupakan real evidence selain documentary evidence maupun judicial notice, dengan demikian agaknya untuk dapat menguji keterangan saksi dipersidangan pada sistem civil law (Eropa Coninental) maka reputasi dan kredibilitas saksi juga perlu diuji paling tidak adalah konklusi keterangan dalam dialektika persidangan maupun gestur dari pada saksi tersebut pada saat memberikan keterangan untuk itu Hakim, Jaksa maupun Penasehat hukum dituntut agar mampu menggunakan perspektif disiplin ilmu psikologi maupun disiplin ilmu lain yang spesifik untuk membaca gestur saksi, dengan demikian validitas dan kredibilitas keterangan saksi saksi tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk mengambil kesimpulan layak atau tidak sebagai alat bukti utama, karena penentuan bersalahnya seorang terdakwa haruslah didasarkan pada bukti yang sangat kuat dan tidak dapat diragukan sama sekali (proven guilty beyond reasonable doubt).

Terkait dengan reputasi dan kredibilitas saksi maka sebagaimana diatur dalam pasal 186 ayat (6) KUHAP menggariskan bahwa dalam menilai keterangan saksi, hakim harus serius didalam memperhatikan cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya, karena saksi yang dikenal pembohong, pemabuk, akan menjadi lemah keterangannya di bawah persidangan.

Keyakinan hakim bertolak dari minimal dua alat bukti yang sah, keterangan saksi menempati posisi teratas dibandingkan alat bukti yang lainnya, meskipun kekuatan pembuktian keterangan saksi bersifat bebas, dalam melakukan penilaian namun sekarang kurangnya masih terdapat tiga aspek untuk sampai pada keyakinan yaitu 1.Keterangan saksi yang diberikan dipersidangan dengan dibawah sumpah atas apa yang didengar, dilihat dan dialami langsung sendiri akan sebuah peristiwa tindak pifana. 2. Ukuran kekuatan pembuktian saksi adalah materi/substansi yang kuat relevansinya dengan alat bukti lainnya atau saling berkesesuaian serta pararel dengan akal dan 3. Mekanisme penyampaian keterangan, hanya akan dinilai jika disampaikan di depan persidangan pengadilan diluar persidangan dianggap bukanlah fakta yang dapat meneguhkan keyakinan.

Bahwa, dalam persidangan perkara pidana hukum acaranya adalah surat dakwaan, akan tetapi ternyata peraturan perundangan tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan surat dakwaan yang merupakan surat atau akte  (acte van verwizing) yang memuat uraian perbuatan atau fakta-fakta yang terjadi, uraian mana akan menggambarkan atau, menjelaskan unsur-unsur yuridis dari pasal-pasal tindak pidana yang dilanggar. Dakwaan mempunyai fungsi bagi komponen yang terlibat dalam proses peradilan pidana, yaitu bagi terdakwa (dan penasehat hukumnya) dalam menyiapkan pembelaan, penuntut umum dalam membuktikannya di persidangan dan hakim dalam menilai pembuktian dan pemeriksaan dalam mengambil putusan sehingga kedudukan dakwaan dalam persidangan perkara pidana, maka pertama kali yang harus dibuktikan dalam persidangan perkara pidana adalah kebenaran sebuah peristiwa sebagaimana yang diuraikan dalam surat dakwaan, yang mana pembuktian tersebut tentu berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan dan memenuhi ketentuan minimal alat bukti, yang kemudian berdasarkan hal tersebut, hakim akan mengkonstantir untuk menetapkan fakta hukum dalam sebuah persidangan, maka hakim telah menetapkan kebenaran (materiil) akan suatu peristiwa (yang diduga tindak pidana).

Adanya kepastian sebuah peristiwa tindak pidana maka oleh hakim akan dilakukan kualifisir fakta hukum suatu tindak pidana atau bukan dengan menghubungkannya dengan unsur-unsur pasal tindak pidana yang didakwakan, hakim didalam menetapkan adanya kebenaran suatu peristiwa yang terjadi maka dalam tahap kualifisir tersebut,hakim akan mengkelompokan dan menghubungkan antara peristiwa yang terjadi dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, selanjutnya setelah hakim mengkonstatir sebuah peristiwa dan kemudian mengkualifisirnya maka akan diakhiri dengan mengkonstituir yaitu hakim akan menetapkan hukum apakah dari perbuatan terdakwa berdasarkan fakta hukum telah memenuhi semua unsur-unsur pasal tindak pidana yang didakwakan dan adanya kesalahan terdakwa.

Peranan keterangan ahli dalam bidangnya yang terkait dengan dakwaan tindak pidana juga memiliki peranan dalam membantu hakim dalam proses kualifisir dan konstituir suatu peristiwa  karena proses konstatir, kualifisir dan konstituir akan bermuara pada apa yang dinamakan putusan hakim.

Jika dalam proses konstatir, kualifisir dan konstituir tersebut, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan, sedangkan apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, akan tetapi perbuatan tersebut tidak merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum, hal mana dapat kita baca dalam ketentuan dalam Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP. Hanya dalam hal hakim dengan sekurangnya dua alat bukti memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana, sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP jo Pasal 193 ayat (1) KUHAP.

Sofyan Mohammad mengenakan baju hitam
Penggunaan teknologi audio elektronik melalui pemberian keterangan melalui teleconference adalah bertujuan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dalam hukum acara seperti halnya proses persidangan ditengah Pendemi Covid - 19 yang mana proses ini adalah untuk mengisi stagnasi proses hukum ditengah Pendemi.

Pemeriksaan saksi sebagai prioritas alat bukti untuk kebenaran materiil maka melalui teleconference diharapkan Hakim, JPU maupun Penasehat Hukum mampu secara cermat dan bernas didalam melakukan dialektika guna menggali kebenaran atas keterangan saksi yang diperiksa dalam hal ini bagi Hakim tentu lebih dituntut untuk dapat menggali dan menemukan hukum (rechtsvinding).

Penggunaan teknologi teleconference akan berlaku sah dan mempunyai nilai pembuktian apabila dapat secara utuh mendengar keterangan saksi secara komprehensif

Dalam situasi Pendemi maka persidangan pidana dalam pemeriksaan saksi saksi melalui metode video teleconfrence merupakan satu kesatuan dari persidangan itu sendiri karena saksi telah mengucapkan sumpah yang dituntun oleh Ketua Majelis dalam persidangan ini, yang mana kemudian keterangan saksi mau tidak mau menjadi fakta persidangan selama proses persidangan tersebut berlangsung secara fair dengan mendasarkan pada peraturan perundang undangan yang berlaku yaitu baik hakim, JPU terdakwa maupun Penasehat hukumnya melakukan sesi tanya jawab dalam proses  pemeriksaan persidangan sebagaimana tertuang secara lengkap dalam berita acara persidangan serta rekaman persidangan teleconference itu sendiri(***)

* Tulisan singkat untuk merangsang penemuan hukum dalam pelaksanaan persidangan melalui teknologi video Teleconference dikemudian hari
** Penulis adalah Praktisi Hukum selaku Ketua LPBHNU Salatiga, Wakil Ketua DPC PERADI Kota Salatiga

Daftar Bacaan
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
2. Putusan MK 65/PUU-VIII/2010
3. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008)
4. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2008).
5. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007)

Editor : Guntur