Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

Jumat, 25 Juni 2021, 11:49:00 AM WIB
Last Updated 2021-06-25T04:49:26Z
NEWSPolitik

Maksimalisasi Peran Politik Perempuan Oleh Farhat Abbas Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)

Advertisement


MATALENSANEWS.com-
Sudahkah maksimal peran politik kaum perempuan di negeri ini? Itulah pertanyaan yang layak kita lontarkan sejalan dengan dinimika politik yang kian berkembang. Banyak fakta bicara, kiprah politik perempuan kian menunjukkan peran yang cukup menggembirakan. Sebagian berhasil manggung di parlemen pusat dan daerah, di lembaga pemerintahan, bahkan – meski hanya satu – terdapat juga Ketua Umum partai yang berjender perempuan. Namun demikian – secara komparatif – realitas positioning peran politik perempuan masih jauh di bawah kaum lelaki. Setidaknya, dari sisi kuantitas.


Sebagai ilustrasi faktual, anggota DPR RI saat ini, perempuan hanya tercatat 117 kursi atau 21% dari capaian lelaki: 458 kursi (79%), padahal amanat UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kuota perempuan – minimal – 30%. Dan anggota DPD RI dari jender perempuan hanya 42 orang dari 136 kursi yang tersedia. Sebanyak 94 kursi terisi oleh anggota DPD RI berjender lelaki. Di sisi lain, dari 14 partai politik (parpol) yang tercatat hingga ikut serta pemilu pada 2019, tinggal satu partai yang dipimpin perempuan. Lainnya lelaki. Di lembaga pemerintahan, dari 34 provinsi, hanya satu gubernur perempuan (Jawa Timur). Lainnya – 33 provinsi – diisi oleh kaum “Adam”. Sementara, hanya sebanyak 13 perempuan yang berhasil menduduki posisi bupati atau walikota. Lainnya, sebanyak 501 bupati/walikota, diisi kaum lelaki. 


Data tersebut menggambarkan posisi politik perempuan masih jomplang (jauh di bawah) politisi lelaki. Realitas itu perlu kita review, apakah memang peran politik perempuan lebih lemah dibanding kaum lekaki? Tidak bisa dipercaya. “The Wonder women” atau “bionic women” sesungguhnya ada dan bukan sedikit. Meski sebagian mereka – terutama yang manggung sebagai kepala daerah lebih merupakan estafet dari kepemimpinan suaminya – tapi realitas posisi perempuan sebagai bupati/walikota merupakan fakta politik yang tak bisa dipandang sebelah mata. Memang, terkesan bangunan politik dinasti. Namun demikian, sejatinya perempuan punya potensi politik yang layak diberi kesempatan secara fair. Jika kesempatan itu dibuka lebar, pasti akan bermunculan kader-kader politisi perempuan.


Dalam kaitan itu, yang diperlukan adalah aturan main yang fair dan jelas. Jika dikaitkan dengan kompetisi menuju parlemen, maka harusnya ada aturan tegas dan jelas bahwa kuota 30% perempuan bukan sekedar jatah. Tapi, bagaimana kuota itu menjadi jatah khusus perempuan. Artinya, kontestasi dan kompetisi politik yang ada untuk antarperempuan, bukan diperhadapkan secara vis a vis antara politisi perempuan dengan politisi lelaki. Jika aturan UU seperti itu, maka kuota 30% perempuan pasti teriisi. Dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum tidak hanya menegaskan aturan 30% perempuan sebagai prasyarat administratif bisa mengikuti perhelatan pemilu. Tapi, harus ada design politik yang benar-benar mengakomodasi keterwakilan perempuan yang sejalan dengan misi utama UU yang mengalokasikan 30% kuota untuk perempuan.


Yang perlu kita catat, sikap pro kepentingan perempuan bukan sekedar keberpihakan atas nama jender. Tapi, untuk sejumlah domain tertentu terkait program pembangunan dan bahkan peran pengawasan, feeling perempuan jauh lebih dalam dan peka dibanding lekaki. Sebut saja saat bicara kebijakan perlindungan perempuan, yang berada di luar negeri atas posisinya sebagai tenaga kerja migran, masalah kesehatan kaum perempuan dan masih banyak lagi. Hal-hal seperti itu, politisi perempuan akan jauh lebih peka. Ada keterpanggilan jender, sehingga politisi perempuan akan all out untuk memperjuangkan hak-hak dan nasib kaum perempuan. Inilah kondisi yang menggambarkan peran politik perempuan akan mewarnai produk kebijakan, bukan sekedar warna atau asesoris hiasan parlemen. Perlu kita catat, feeling politisi perempuan yang demikian dalam dan peka untuk urusan perempuan ini belum tentu dirasakan politisi lelaki, yang – kemungkinan besar – hanya sebatas empati karena keterpanggilan kemanusiaan. Ada rasa yang hilang – setidaknya berbeda atau tidak maksimal – di antara rasa dan getaran jiwa politisi perempuan dibanding politisi lelaki.


Mencermati realitas itu, maka tidaklah berlebihan manakala seluruh parpol yang ada harus mampu mengubah format politik kuota perempuan itu. Bukan sekedar angka kuota, tapi – dan hal ini jauh lebih krusial – bagaimana aturan main di lapangan saat pagelaran pemilu. Satu hal yang harus dicatat, kontestasi yang ada jangan lagi memversuskan politisi perempuan dengan politisi lalaki. Yang harus direvisi adalah bagaimana gelanggang kontestasi itu kompetisi perempuan versus perempuan. Tergantung perempuan mana yang jauh lebih tangguh dan capable sehingga berhasil lolos dalam kontestasi itu. Dengan pendekatan seperti ini, jelas: kebijakan kuota 30% perempuan pasti terisi, bukan hanya menjadi pelengkap dari sejumlah politisi lelaki yang terpilih. Ketika jumlah politisi perempuan cukup jelas – katakanlah minimal 30%m – maka produk legislasi pro perempuan akan jauh lebih nyata dan dapat dirasakan segera bagi kepentingan perempuan di tanah air ini.


Mencermati panorama komparatif polisisi perempuan versus politisi lelaki saat ini, kiranya menjadi krusial lahirnya suatu partai politik (parpol) baru yang cukup concern pada hak dan kepentingan perempuan. Setidaknya, parpol baru tersebut sanada perjuangannya untuk kepentingan perempuan. Dan Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) akan mempelopori sebagai partai yang siap memperjuangkan dan memfasilitasi kehadiran para politisi perempuan, di level pusat ataupun daerah. Inilah kebutuhan urgen yang harus dijawab oleh PANDAI di tengah kecenderungan parpol yang ada relatif tidak menunjukkan komitmen khususnya untuk kaum  perempuan, sehingga tak begitu jelas kebijakannya dalam mengalokasikan peran politik perempuan.


PANDAI meyakini, potensi politisi perempuan cukup besar. Karena itu, kaum politisi perempuan harus dikanalisasi oleh parpol, bukan sekedar memberi panggung di luar sistem. Memang, ketika mereka berjuang di luar lembaga parlemen, itu merupakan kekuatan riil sebagai kelompok penekan (presure group). Tapi, akan  jauh lebih powerful dan meaningful jika mereka terlibat langsung dalam  proses legislasi. Dan PANDAI yakin, para politisi perempuan akan tetap committed dalam mengejawantahkan visi besarnya secara operasional, yakni berserikat menuju Indonesia yang berdaulat. Dalam hal ini tentu akan terjadi sinergisitas antara politisi perempuan dan politisi lelaki yang sama-sama melangkah di bahtera PANDAI.


Jika kita cermati sejumlah parpol di sejumlah negara, belum ada satupun literatur yang menginformasikan diri sebagai partai perempuan. Meski tak sedikit politisi perempuan yang  handal dan telah teruji, tetap saja keberadaan parpolnya bersifat umum, yakni pemaduan fungsionaris lelaki-perempuan. Sebut saja, Margaret Thatcher. Perdana Menteri Inggris (1979 – 1990) yang sangat dikenal sebagai Wanita Besi ini lahir dari Partai Konservatif. Indera Gandhi, Perdana Menteri India (1966 – 1977 dan 1980 sampai terbunuh pada 1984) juga dari sebuah partai umum, yaitu Partai Kongres Nasional India, bukan partai khusus perempuan. Benazir Butto, yang sempat menjadi Perdana Menteri Pakistan pada 1988 - 1989 (selama 20 bulan) dan manggung lagi pada 1993, juga bukan dari partai khusus perempuan. Puteri dari mendiang Ali Butto ini memimpin Pakistan dari Partai Rakyat Pakistan. Dan contoh yang cukup spektakuler adalah Hellary Clinton. Istri mantan Presiden AS Clinton yang nyaris berhasil memimpin Amerika Serikat saat berkompetisi dengan Donald Trump itu juga bukan dari partai khusus wanita. Hellary hadir sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat.


Yang perlu kita catat, ketiadaan contoh parpol khusus perempuan bukan berarti meniadakan probabilitas. Dalam hal ini – sekali lagi – PANDAI tidak tertutup kemungkinan menjadi parpol pilihan utama kaum perempuan dengan dominasi fungsionarisnya dari elemen perempuan, para kadernya juga dari kaum “Hawa” dan para calon kepala daerahnya juga dari entitas perempuan. Kaum perempuan yang hebat itu tifak lagi hadir sebagai pelanjut kepemimpinan suaminya. Mereka memang eksis, mampu dan layak diberi kesempatan secara fair.


Lalu, akan ke manakah para fungsionaris PANDAI yang berjender lelaki? Tetap ada, tapi lebih merupakan partnership sejati. Atas nama senisivitas kaum perempuan dalam menghandle program-progran perempuan, maka PANDAI akan lebih mengedepankan peran politik perempuan. Inilah tekad konstruktif, agar politisi perempuan mau dan mampu mewarnai belantika politik nasional. Sentuhanmu bagai sang ibu. Bikin lebih nyaman, selagi dirimu perempuan sejati, yang tetap mempertahankan jiwa dan karakter keibuannya.


Jakarta, 24 Juni 2021


VS