Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

Sabtu, 03 Juli 2021, 7:59:00 PM WIB
Last Updated 2021-07-03T13:03:00Z
BERITA UMUMNEWS

ASPEK HUKUM PINJAMAN ONLINE (PINJOL) Oleh Sofian Muhamad

Advertisement

                    Sofyan Mohammad

MATALENSANEWS.com-Dimasa pendemi Covid - 19 salah satu problem hukum dan sosial yang akhir akhir ini terjadi dalam lalu lintas kehidupan sehari hari masyarakat adalah menyangkut jeratan pinjaman online (Pinjol- ilegal) dan permasalahan tersebut merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari perkembangan sistem pembiayaan keuangan berbasis Teknologi Informasi baik menggunakan piranti handphone/smartphone, komputer, internet, Wi-Fi, laptop,  dll praktik ini dapat disebut dengan financial teknology (fintecht).


Dalam kajian hukum maka Pinjaman Online diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 77/2016”) yang dalam  regulasi ini mengatur hal hal yang terkait dengan praktik dan operasional perusahaan layanan jasa pinjam meminjam secara online.


Salah satu kelebihan dari pada pinjol adalah begitu praktis dan mudahnya proses pinjaman tanpa menggunakan barang agunan selain data elektronik (padahal justru hal ini yang kemudian menjadi petaka bagi debitur)


Perusahaan Pinjol (Ilegal) secara masif dan terstruktur gencar melakukan iklan melalui sosmed yang terhubung dan terakses kepada hampir seluruh pengguna handphone yang jumlahnya mencapai 89% populasi penduduk Indonesia atau sekitar 167 juta jiwa (menurut rilis Menkoinfo).


Dalam iklannya Perusahaan Pinjol Ilegal  menyebutkan pesan yaitu proses praktis tanpa syarat-syarat yang memadai dan langsung dapat disetujui, karena hal ini maka masyarakat luas yang sedang terdesak kebutuhan ekonomi terlebih diera pendemi seperti sekarang ini maka akan sangat mudah tergiur tanpa berpikir panjang akan risiko pembayaran yang akan membebaninya dikemudian hari atau konsekuensi yang timbul karenanya.


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui regulasi tersebut diatas telah memperingatkan masyarakat agar berhati-hati bertransaksi di dunia online, namun kenyataanya masih juga banyak masyarakat luas yang terjerat pinjaman online ilegal tersebut. Pada dasarnya utang adalah suatu kewajiban seseorang yang harus ditunaikan kepada orang lain, dalam hal ini peminjam disebut dengan debitur  sedangkan pemberi pinjaman disebut dengan kreditur. 


Dalam perspektif agama, hutang bukan persoalan ringan karena merupakan kewajiban yang harus ditunaikan baik oleh dirinya sendiri maupun oleh ahli waris karena bisa dibawa sampai mati ataunsampai akhirat. Terjadinya utang piutang, pada umumnya diawali dengan perjanjian baik tertulis maupun lisan, namun dalam industri fintech ilegal maka iklan penawaran pinjaman online hanya menyebutkan bisa dilakukan dengan mudah dan cepat, karena hal tersebut maka sipeminjam (debitur) tidak lagi memikirkan risiko dan konsekuensi jeratan yang dapat terjadi dikemudian hari.


Dalam hubungan hukum maka utang piutang adalah sesuatu yang dipinjam baik berupa uang maupun benda dan  orang yang mengutang mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut selanjutnya dalam utang piutang umumnya disertai harta benda sebagai jaminan pembayaran dikemudian hari karena menurut hukum Perdata, segala utang piutang dijamin dengan harta benda si berutang, segala kebendaan si berutang (debitur) menjadi jaminan atas hutang-hutangnya, karena dalam pasal 1131 KUHPerdata menentukan “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.” 


Bahwa, segala perikatan atau perjanjian termasuk utang piutang pada umumnya didasarkan pada perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak, baik tertulis maupun lisan namun idealnya perjanjian akan lebih sempurna ketika berbentuk tertulis karena nantinya akan lebih jelas dan pasti sebagai pembuktian apabila diperlukan,  demikian nyatanya dalam perjanjian utang piutang online ilegal tersebut kedua belah hanya dipandang telah menyetujui hak dan kewajiban saja, namun tidak dituangkan dalam bentuk perjanjian secara online (ttd melalui online), padahal berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka ada syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah, sehingga apabila tidak memenuhi  syarat syarat tersebut maka perjanjian yang telah disepakati, termasuk dalam hutang piutang dianggap tidak sah, hal ini juga mengacu pada asas pacta sun servanda dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu  semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang undang dan persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.


Bahwa, selain dari pada itu menyangkut tata cara perjanjian pinjol maka sudah diatur dalam Pasal 18,  20, 21, 22, 23 dan 24 POJK 77/2016 Pasal 20, (1) sehingga apabila segala proses dalam pinjaman online tidak menerapkan ketentuan dalam regulasi tersebut maka dapat dipandang segala hubungan hukum tersebut adalah cacat hukum dan terangnya segala operasional dan praktik yang dilakukan pinjol ilegal yang menjerat masyarakat luas akhir akhir ini jelas jelas tidak sesuai dengan  segala regulasi tersebut diatas.


Problem Pinjaman Online (financial technology (fintech) menjadi problem yang sangat serius karena perkembangan industri fintech justru menciptakan stigma negatif dari masyakarat hal ini karena menyangkut tata cara penagihan yang berupa teror dan intimidasi yang menyerang harkat dan martabat dari pada debitur yang terjerat.


Perusahaan fintech ada yang legal dan ada pula yang ilegal, yang legal biasanya tercatat di OJK sedangkan yang ilegal jelas tidak tercatat karenanya masyarakat luas jangan mudah tergiur dengan slogan pinjaman yang ditawarkan, masyarakat  harus melakukan ricek terlebih dahulu atas status perusahaan tersebut ke lembaga terkait, karena menyangkut dampak resiko yang bakalan terjadi jika salah memilih maka akibat yang diterima selain perhitungan pelunasan yang tidak jelas maka risiko terberat adalah menyangkut penagihan yang akan sangat menyusahkan yang justru akan menguras banyak energi dan pikiran, hal ini bertolak dari berbagai problem yang dialami masyarakat luas yang terjerat pinjol ilegal.


Masyarat luas korban pinjol ilegal sering mengeluhkan cara cara penagihan yang menggunakan pendekatan kekerasan, intimidasi secara fisik maupun verbal menggunakan piranti tehnologi kepada debitur maupun nomer nomer kontak yang ada dalam phonebook handphone milik debitur, karena hal ini maka masyarakat menjadi resah.


Keberadaan Pinjol (ilegal) alih-alih membantu masyarakat namun faktanya justru meresahkan masyarakat karena menerapkan suku bunga yang tinggi dan cara penagihan yang intimidatif serta penagihan dan ada pula modus menggunakan ancaman akan melaporkan kepada kepolisian untuk dikenakan pidana. Terkait dengan ancaman pidana tersebut bagi masyarakat awam hukum tentunya akan menciptakan ketakutan, padahal secara yuridis yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) menyebutkan  “Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang” hal ini berarti walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidak mampuannya membayar utang dalam arti penegak hukum tidak bisa menjerat debitur yang tidak mampu membayar pinjaman tersebut, hal ini bertolak karena pokok permasalahan dimaksud termasuk kategori perjanjian utang-piutang sehingga bukan ranah pidana melainkan ranah perdata. 


Terkait maraknya korban pinjol ilegal yang dialami masyarakat luas maka  persoalan jeratan Pinjol ilegal nampaknya bukan hanya problem personal yang bersifat privat karena faktanya saat ini masyarakat luas jelas jelas sudah menjadi korban jeratan dan petaka Pinjol ilegal sehingga perkara ini subtansinya adalah perkara publik luas yang menuntut tanggung jawab pemerintah untuk hadir melindungi warga negaranya, karena kewajiban negara secara konstitusi adalah untuk menyejahterakan rakyatnya,  untuk menjamin terselenggaranya keadilan dalam hukum dan pemerintahan dan melindungi segenap tumpah darah warganya.



* Penulis adalah Ketua Ketua LPBHNU Kota Salatiga