Advertisement
MATALENSANEWS.com-Sangat paradoks. Itulah pemberlakuan ketentuan presidential threshold (PT) sebesar 20% bagi partai politik yang mengusung kandidatnya untuk mengikuti kontestasi kepresidenan. Ketentuan ini jelas menabrak prinsip demokrasi sekaligus tujuan utama kontestasi kepemimpinan nasional, yakni upaya mendapatkan calon pemimpin yang kridebel, mumpuni dan berintegritas yang siap mengantarkan negeri ini lebih maju, serta mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan secara riil, bukan janji semata. Sesuai amanat konstitusi atau pesan pendiri negeri ini.
Yang perlu kita cermati lebh jauh, bagaimana dampak destruktif dari pemberlakuan PT itu? Haruskah PT yang sangat diskriminatif dan destruktif ini dipertahankan? Apakah implikasi faktual tentang ketidakmampuan sang pemimpin produk PT saat ini tidak dijadikan pelajaran berharga untuk mengkaji ulang penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017, terkait PT itu?
Dalam kaitan itu, ada beberapa dampak yang perlu kita analisis lebih jauh. Pertama, PT 20% tersebut hanya mendorong gerakan koalisi partai untuk kepentingan pragmatis. Jauh dari cita-cita dan tujuan perhelatan pemilihan kepemimpinan nasional. Gerakan koalisi – secara langsung atau tidak – hanya mengakibatkan faksi politik dalam gugus kesatuan negara tercinta ini. Dampaknya jelas: perpecahan di level grass-root, bahkan kalangan elitis, minimal semasa proses politik kontestasi. Dan fakta bicara, residu politik itu terus terpelihara meski perhelatan sudah usai, sehingga konflik diameteral sering kita saksikan di jagad negeri ini. Pemandangan buruk itu masih terasa dan terlihat. Sampai detik ini. Dalam bentuk kriminalisasi, gesekan sosial dan perlakuan diskriminasi hukum dan lainnya. Sangat tidak dewasa memang. Tapi, panggung politik masih menampak di negeri ini.
Di sisi lain – sebagai hal kedua – implikasi dari koalisi partai adalah memaksa pembatasan jumlah kontestan pemilihan kepresidenan, baik sebagai partai ataupun sosok personal. Dalam perspektif demokrasi, pembatasan itu jelas-jelas menggambarkan pemasungan dan atau mengubur hak asasi politik kandidat manapun, padahal posisi hukumnya dijamin prinsip demokrasi dan konstitusi (Pasal 28 UUD 1945). Ketiga, pemberlakuan PT tersebut – secara langsung atau tidak – mengamputasi, setidaknya mengabaikan, warga negara yang punya kompetensi mumpuni, berkarakter dan punya rekam jejak yang baik dari sisi integritas. Yang memprihatinkan, ketentuan PT – secara langsung – berlaku bagi kandidat yang berada di luar kandang partai, sehingga ia atau mereka tak punya hak atau kesempatan memimpin. Maka, merupakan kerugian besar bagi bangsa dan negara jika kandidat yang terhadang itu terketagori memenuhi prasyarat sosok pemimpin ideal yang sejatinya dicari untuk bangsa dan negeri ini, apalagi negara sedang dilanda krisis multidimensi yang cukup serius.
Sebuah renungan – sebagai hal keempat – apakah pemberlakuan PT memang dirancang untuk menghadang kandidat potensial? Dengan kata lain, apakah desain PT memang untuk mengantarkan sosok pemimpin stupid sehingga tak akan jeli dalam membaca sejumlah skenario jahat bagi entitas negeri ini? Jika arahnya ke sana, berarti ada pihak tertentu yang – secara terencana – terus menggalang kekuatan strategis untuk meloyokan tata-kelola negara atau pemeritahan yang visioner, berkemajuan, berkedaulatan dan pro kerakyatan penuh. Peloyoan ini sama artinya mengungkap upaya politik “penggadaian” negeri ini kepada pihak tertentu, apakah unsur asing atau bersama komprador domestik (asong). Satu hal yang perlu disadari, pihak asing tak mudah melakukan manuver di tengah negeri ini tanpa persekongkolan dengan asong. Inilah panorama yang dapat kita saksikan dengan kasat mata.
Skenario peloyoan secara sistimatis itu dapat kita baca dengan mudah pada penggalangan kelompok bohir, dari anasir overseas ataupun mereka yang telah bercokol di Tanah Air ini. Mereka kompak: harus berpihak kepada kandidat lemah dan stupid. Berapa ribu trilyun pun akan diladeni. Yang penting, kandidat yang jauh di bawah standar ini berhasil manggung. Harapannya jelas: pemimpin yang di bawah standar ini bukan hanya leluasa digiring cara pandangnya agar kebijakannya selalu mengakomodasi kepentingan para bohir.
Karena itu, persekongkolan tidak hanya main di sektor pendanaan, tapi sejumlah tindakan strategis yang mampu membalikkan posisi hasil suara dengan daya teknologi informasi yang super canggih. Tak hanya terhenti di situ. Ragam lainnya seperti intimidasi juga dilakukan, terutama terhadap kalangan opertator teknologi informasi, penegak hukum dan lembaga terkait lainnya yang terus mengawal sampai sang kandidat di bawah standar ini berhasil manggung. Tak peduli dengan moralitas hukum, apalagi agama dan apapun kata dunia. Moral hazard berlaku secara total foot-ball.
Yang perlu kita catat – sebagai hal kelima – adalah pemberlakuan PT hanya dijadikan pintu masuk untuk bermain politik secara leluasa bagi kaum kalangan oligarkis. Hanya satu tujuan utama dari ragam permainan para oligarkis itu: mengendalikan sang pemimpin boneka, untuk menguasai seluruh sumber daya strategis negeri ini, tanpa harus menjajahnya secara fisik. Dengan donasi sekitar seribu atau dua ribu trilyun rupiah, sudah mampu menguras kekayaan negara yang bernilai puluhan bahkan ratusan ribu trilyun, tanpa kendala regulasi dan operasional di lapangan. Bahkan, mereka mendapat pengawalan khusus. Sungguh memprihatinkan, eksplorasi dan eksploitasi yang tak terbatas nilainya, tanpa mempedulikan hak-hak rakyat yang “dijajahnya”. Itulah manuver para kapitalis-globalis saat ini.
Dengan skanario itu, para oligarkis senantiasa berpihak pada partai besar yang memang berpotensi mampu memenangkan kontestasi. Sementara, partai yang didekati dan dijadikan mitra (komprador) pun mengukuhkan pendirian: tak ada makan siang gratis. Refleksinya, partai-partai besar siap berkolaborasi dengan kalangan oligarkis-globalis, tapi haruslah kompensasional. Inilah yang membuat pemimpin partai menunjukkan taringnya: siapapun kadernya yang tidak sejalan atau tidak tunduk terhadap garis partai dipersilakan out, atau cari partai lain.
Sikap arogansi pemimpin partai seperti itulah – sebagai hal keenam – membuat kader-kader terbaik partai terkubur jika partai tidak merekomendasikannya sebagai calon presiden. Sang kader hanya mampu sendiko dawuh. Manut. Hal ini membuat partai bukan hanya jumawa, tapi mendorong partai berperilaku semakin diktator. Sebagai partai politik yang sesungguhnya menjadi aktor pembumian nilai-nilai demokrasi harusnya ajarkan prinsip demokrasi, dalam bentuk menghargai hak-hak para kader dan masyarakat lainnya, tapi justru sebaliknya: tidak mendidik dan melecehkan personalitas sang kader.
Yang perlu kita catat lebih lanjut, perilaku diktatorisme dan arogansi sang pemimpin partai menumbuhkan budaya menjilat: yang penting ketua umum partai senang, meski sejatinya semu. Perilaku menjilat itu – mau tak mau – terpaksa harus dilakukan. Demi, kepentingan politik pribadinya aman. Sungguh tidak sehat dalam konsep membangun budaya politik yang mencerahkan. Karena, sikap penjilatan itu tidak akan mendorong kadernya responsif terhadap dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Mereka akan lebih melihat dan menunggu ketika harus menjalankan tugas partai terkait kepentingan rakyat. Semua kader ada dalam kendali sang pemimpin utama partai.
Semua catatan tersebut – di mata Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) – bukan hanya merusak masa depan negara dan bangsa ini, tapi benar-benar membentur konstitusi dan prinsip demokrasi. Karena itu, sudah saatnya ada perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan negeri kita. Pasal 222 terkait PT pada UU No. 7 Tahun 2017 itu tak sepantasnya dipertahankan. Dalih untuk menyederhanakan jumlah kontestan pemilu untuk memperkuat sistem presidential tak sejalan dengan spirit demokrasi yang harusnya diperjuangkan kian berkualitas.
Bagaimana pun, suara rakyat harus diakomodasi, meski beda pilihan partai dan sosok kandidat presiden. Dan yang jauh lebih memprihatinkan adalah ketentuan PT benar-benar mengubur kandidat terbaik bangsa dan negara, yang saat ini justru kita sangat butuhkan. Haruskah kita bahu-membahu dalam menciptakan masa depan negara yang makin suram, bahkan hancur? Perlu dipertanyakan akal sehat kita jika merapatkan diri dan berjuang ekstra keras untuk mempertahankan PT itu.
Sebuah renungan politik, apakah kita rela gadaikan atau bahkan lepaskan negeri ini ke pihak asing atau persekongkolan asing-asong? Jika jelas-jelas arahnya ke sana, maka seluruh elemen bangsa ini, terutama dari komponen TNI tak boleh diam. Sumpah Sapta Marga TNI harus ditunjukkan: NKRI harga mati. Tak boleh sejengkal pun dari wilayah negeri ini jatuh ke pihak lain. Sebagai anak bangsa, tentu barisan PANDAI akan selalu berada bersama aparat keamanan yang berjibaku untuk negeri ini. Tak ada kompromi. Inilah saat tepat untuk uji nasionalisme sejati.
Sekali lagi, sebagai kekuatan sipil, PANDAI layak bersuara lantang untuk bangkitkan kesadaran patriotis-nasionalistik, meski melalui lembaga hukum (MK) dan opini publik yang memang harus dihembuskan secara produktif. Bukan provokasi. Tapi, kita semua harus manyadari bersama tentang tingkat bahaya mempertahankan PT 20% itu bagi kepentingan bangsa dan negara ke depan. Sementara, seluruh elemen masyarakat pun harus cerdas: jauhkan diri dari kandidat presiden yang – secara rekam jejak – berandil besar dalam upaya sistimatis melestarikan PT 20% itu.
Jakarta, 19 Juli 2021
Vio Sari