Advertisement
Opini oleh Arif Yuswandono
MATALENSANEWS.com-Jagat medsos Kebumen hari-hari ini diramaikan dengan euforia hasil putusan sidang DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) yang memberikan peringatan kepada anggota KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) Kebumen.
Sidang pembacaan putusan DKPP sendiri digelar pada Rabu (28/7) di Gedung DKPP Jakarta dengan majelis sidang terdiri dari Anggota DKPP, yaitu Dr. Alfitra Salamm, APU (Ketua Majelis), Dr. Ida Budhiati, Prof. Teguh Prasetyo dan Didik Supriyanto, S.IP., M.IP.
Beberapa akun Facebook nampak merayakan "kemenangan" dan menulis berbagai opini seolah-olah ini adalah perjuangan demokrasi, bahkan ada komentar liar yang berusaha mendelegitimasi hasil Pilkada Kebumen, 9 Desember 2020 lalu.
Namun jika kita cermati, sebagian nama akun tersebut adalah para selebriti medsos yang mengklaim sebagai Masyarakat Kotak Kosong (Masy Koko). Meski menggunakan nama samaran, jejak digital mereka jelas menunjukkan bahwa mereka gerombolan Pembela Kotak Kosong dan simpatisannya.
Masya Koko ini fenomena menarik dan unik dalam dinamika politik Kebumen pasca Pilkada 2020 yang dimenangkan paslon tunggal, H Arif Sugiyanto SH - Ristawati Purwanungsih. Saya pribadi tidak tahu status organisasi ini, yang jelas mereka bukan peserta pemilu, bukan pemantau pemilu apalagi penyelenggara pemilu.
Yang pasti beberapa pegiatnya ada mantan caleg yang gagal duduk di kursi dewan pada Pileg 2019, mantan anggota dewan periode 2014-2019, mantan pejabat, mantan pendukung bacalon bupati yang gagal dapat rekom partai dan beberapa pemain proyek kecil- kecilan di Kebumen.
Pilkada Kebumen sudah delapan bulan berlalu. Sebagian besar masyarakat sudah lupa dan kembali beraktivitas seperti biasa. Bupati terpilih, H. Arif Sugiyanto juga mulai sibuk melaksanakan janji kampanye, melayani masyarakat, membangun Kebumen dan yang pasti bersama masyarakat mengatasi pandremi Covid-19.
Tentu bukan hal yang mudah mengubah Kebumen dari status kabupaten termiskin menjadi kawasan yang maju dan sejahtera. Perlu kerja keras, soliditas, integritas dan waktu.
Keberadaan Masy Koko dengan beberapa gelintir orang yang masih eksis berusaha memposisikan diri sebagai kekuatan opisisi yang mengawasi dan mengontrol tiap kebijakan bupati. Saya apresiasi dan acungkan jempol buat stamina juga semangat mereka.
Di tengah peran para anggota dewan yang memble, elit- elit politik yang tiarap, maka cuitan para aktivis Masy Koko serasa mengobati rindu masyarakat akan iklim demokrasi yang dinamis.
Namun, saya sedikit memberi saran pada aktivis Masy Koko agar lebih mengkonsolidasikan diri, meningkatkan kapasitas dan soliditas agar lebih berbobot. Carilah isu-isu yang substantif untuk diangkat dan digoreng.
Jika masih puas dengan isu- isu receh dan remeh temeh, maka akan ada orang yang tersenyum sinis sambil ketawa jahat dalam hatinya. Jangan sampai terkesan, mereka hanya sekelompok barisan sakit hati, kelompok gagal dapat proyek dan teriak-teriak atas nama demokrasi.
Kebumen sekarang tentu berbeda dengan beberapa tahun lalu, dimana proyek dan jabatan dapat dikondisikan. Ketika beberapa orang Masya Koko menjadi "penguasa" Kebumen di masa lalu, mereka dapat mengkondisikan proyek karena kedekatan dengan pejabat.
Namun di era digital yang transparan dan akuntabel, maka modal kedekatan atau ancaman tidak lagi efektif untuk dapat jatah pekerjaan. Kebumen sudah manglingi slurrr...
Kembali pada soal putusan sidang DKPP. Ini hanya soal kesalahan administratif dan kode etik. Inti persoalannya juga hanya menyangkut keberadaan pemantau pemilu, JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) yang dianggap menyalahi prosedur. DKPP sudah memutuskan untuk memberi peringatan dan peringatan keras, bahkan merehabilitasi nama baik seluruh anggota Bawaslu Kabupaten Kebumen.
Fix, keputusan DKPP bersifat final dan mengikat. Para anggota KPUD Kebumen dan Bawaslu juga tidak perlu berkomentar dan mengeluarkan pernyataan apapun, sudah terima saja, karena telah menyerahkan kasus ini pada pengadilan kode etik.
Yang aneh dan nampak tidak paham adalah beberapa orang yang berlebihan beropini terkait putusan ini. Seolah-olah ada pelanggaran berat pada penyelenggaraan Pilkada Kebumen 2020.
Bahkan lebih lucu lagi mereka yang mengkaitkan dengan keberadaan paslon tunggal, hingga berusaha mengopinikan untuk mendelegitimasi hasil Pilkada. Ini terkesan orang tidak paham peraturan perundangan atau memang sengaja membodohi masyarakat.
Sidang DKPP bukan sidang sengketa Pemilu, hanya sidang kode etik untuk menjaga kehormatan dan profesionalisme penyelenggara Pemilu. Menurut Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, Pasal 1 ayat (24) menyebutkan, “Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang selanjutnya disingkat DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu”.
Sementara subjek penanganan perkara DKPP (subjectum litis) terdiri atas; Pengadu dan Teradu. Tentang Pengadu disebutkan pada Pasal 458 ayat (1) yaitu ; Peserta Pemilu, Tim kampanye, Masyarakat, dan/atau pemilih yang dilengkapi dengan identitas pengadu kepada DKPP. Sedangkan Teradu terdiri dari atas 3 unsur, yaitu ; unsur KPU, Unsur Bawaslu dan Jajaran Sekretariat Penyelenggara Pemilu.
Kemudian sanksi yang dihasilkan sidang DKPP juga ranah kode etik bukan ranah pidana apalagi sampai membatalkan hasil pemilu. Sanksi yang dapat dikeluarkan oleh sidang DKPP dari mulai paling ringan seperti, peringatan hingga berat yaitu diberhentikan dengan tidak hormat, seperti terjadi pada kasus Wahyu Setiawan, anggota KPU dalam kasus Harun Masiku.
Nah, dalam kasus sidang DKPP untuk Pilkada Kebumen 2020, putusannya sangat jelas, tegas dan tentu paling ringan, yaitu peringatan. Tidak akan berdampak apapun pada hasil Pilkada apalagi mendelegitimasi kemenangan paslon.
Sebaiknya para aktivis Masy Koko menahan diri dan tidak berhalusinasi dengan menyebar opini semaunya sendiri. Pilihlah isu yang substantif dan strategis untuk diangkat, atau bersatulah dengan masyarakat untuk membangun Kebumen serta keluar dari krisis karena pandemi Covid-19.
*) Penulis: Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik