Advertisement
SRAGEN,MATALENSANEWS.com- Sekitar abad ke-15, Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Prabu Brawijaya. Raja Majapahit memiliki seorang putra yang sangat tampan bernama Raden Haryo Bangsal dan belum menikah.Suatu hari, raja menyuruh putranya untuk hadir di pengadilan dan melaksanakan perintahnya yaitu segera menikah.
Setelah lama berpikir pangeran Haryo Bangsal tetap ngotot untuk tidak menikah sesuai keinginan ayahnya. Ia ingin menimba ilmu dan berencana melarikan diri dari Istana Mahjapahit.
Ketika semua orang sedang tidur, termasuk Raja Brawijaaya serta para penjaga, Pangeran Haryo Bangsal pergi dari Istana Majapahit. Di tengah perjalanan, dia melewati hutan. Dahan, duri dan semak-semak merobek pakaian dan kulitnya hingga tubuhnya dipenuhi kudis sehingga tercium bau ikan. Sejak itu, dia menamai dirinya Joko Budug.
Pangeran Haryo Bangsal atau Joko Budug melanjutkan perjalanannya hingga sampai di sebuah desa bernama Dadapan. Dia merasa lelah dan tertidur di bawah pohon yang rindang. Saat dia tertidur, seorang wanita tua yang tinggal di desa lewat. Nama perempuan tua itu Mbok Rondho Dadapan.
Mbok Rondho membangunkan Joko Budug dan mengajaknya mengobrol sebentar. Namun Joko Budug kembali tertidur karena terlalu lelah. Pada saat itu, dia mengigau dan tanpa sadar menyesali perbuatannya.
Tanpa sadar Joko Budug mengigau dan berkata bahwa dia adalah putra raja. Sebagai putra raja, dia tidak layak menderita penyakit kudis dan menjalani kehidupan yang sangat menyedihkan. Setelah mendengar Joko Budug mengigau bahwa dirinya adalah putra raja, akhirnya Mbok Rondho membangunkannya kembali.
“Siapa namamu, Nak? Tadi, kudengar kamu mengigau bahwa kamu adalah putra raja. Apa yang baru saja kamu katakan itu benar?” Tanya Mbok Rondo Dadapan.
“Ya Mbok. Saya putra Prabu Brawijaya. Saya lari dari istana karena tidak mau menuruti permintaan ayah untuk menikah. Saya melakukan ini karena ingin memperoleh kesaktian dan menimba ilmu. Tapi ayah tidak setuju dan sangat marah kepada saya. Begini ceritanya Mbok, sampai akhirnya saya sampai di sini, ”Joko Budug menjelaskan apa yang terjadi.
Akhirnya Mbok Rondo Dadapan mengajak Joko Budug untuk tinggal di rumahnya.
Suatu sore di Asar, Joko Budug merasa haus dan dia melihat pohon kelapa.Setelah memintak ijin mbok Rondo Dadapan mengambil kelapa untuk dimakannya.
Mbok Rondho sangat heran, karena tangannya Joko Budug bisa meraih kelapa yang dipetiknya dari pucuk pohon kelapa. Setelah pohonnya terlepas, potong cabang daun kelapa dijadikan batang runcing (Tongkat). Tongkat itu diberi nama Luh Gading.
Joko Budug menggunakan tongkatnya untuk merumput kambing. Suatu ketika, dia menusuk sebuah batu besar dengan tongkat yang dia buat. Anehnya, batu-batu yang tertusuk itu pecah.
Suatu hari, ada kabar bahwa Raja Pohan sedang mengadakan Sayembara. Syembara tersebut menyatakan bahwa siapa pun yang dapat memotong batu besar yang menghalangi aliran air dari bendungan akan mendapatkan hadiah khusus. Barang siapa yang memenangkan Sayembara itu akan dinikahkan dengan putri Raja yang sangat cantik bernama Dewi Nawang Wulan.
Dijelaskan pula dalam lomba bahwa air dari Sungai Sawur di bendungan harus dialirkan ke alun-alun untuk mengairi pohon pisang pupus cinde mas. Dengan begitu, pohon Pisang Pupus Cinde Mas kesayangan Raja Kerajaan Pohan tidak akan mengering saat musim kemarau.
Dengan kesaktian yang dimiliki Joko Budug akhirnya berhasil membuat terowongan di dalam tanah dengan tangan kosong. Terowongan itu menghubungkan Kali Sawur dengan taman yang ditanami pohon pisang kesayangan raja Pohan.
Terowongan bawah tanah itu masih bisa dijumpai hingga sekarang. Ujung terowongan itu berada di Kali Sawur yang memisahkan wilayah Sragen, Jawa Tengah dengan wilayah Ngawi, Jawa Timur.
Terowongan yang dibuat Joko Budug itu mampu mengalirkan air dari sungai menuju taman tempat pohon pisang itu ditanam. Berkat bantuan ki Joko Budug, pohon pisang kesayangan raja itu tidak jadi layu. Raja Pohan pun berencana mengawinkan Joko Budug dengan putrinya.
Persoalannya, raja tidak mau menerima Joko Budug sebagai menantu selama kulitnya masih dipenuhi penyakit kulit, budug atau gudik. Raja kemudian memerintahkan seorang patih untuk memandikan Joko Budug di Sendang Gampingan.
Karena Patih itu mengalami gangguan pendengaran, Perintah raja untuk mbilasi [membersihkan dengan air] didengar patih untuk nelasi [menghabisi]. Joko Budug pun akhirnya dihabisi nyawanya di dekat Sendang Gampingan oleh Patih.
Di dekat sendang itu, Patih memerintahkan prajurit untuk membuat kubur atau liang lahat. Kubur itu dibuat seukuran orang biasa. Keanehan muncul ketika jasad Joko Budug hendak dikubur.
Liang lahat itu tidak cukup besar untuk menampung jasad Joko Budug. Meski panjang liang lahat ditambah menjadi 11 meter, jasad Joko Budug tetap tidak bisa dimasukkan.Menurut wangsit yang didapat sepepuh kerajaan, Joko Budug bersedia dimakamkan asalkan berada satu liang dengan calon istrinya yang tak lain putri raja.
Sejak saat itu, Joko Budug tidak jadi dimakamkan di dekat Sendang Gampingan. Jasadnya kemudian dipindah ke Gunung Liliran yang berada tak jauh dari Kerajaan Pohan.
Berita kematian Joko Budug akhirnya didengar Raja Majapahit. Raja kemudian memerintahkan pemindahan jasad Joko Budug dari Gunung Liliran ke Kerajaan Majapahit. ”Jadi, petilasan Ki Joko Budug itu ada di Dusun Gamping dan Gunung Liliran.
Makam tanpa batu nisan yang berada di Desa Jambeyan Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen merupakan makam petilasan Joko Budug atau Pangeran Haryo Bangsal.
Makam dengan pagar bambu yang diberi cat merah dan kuning mengelilingi liang lahat yang mempunyai panjang kurang lebih enam meter. Liang lahat itu juga dilindungi oleh sebuah gubuk yang beratap rumbia. Di sebelah bekas makam itu, ada setumpuk genting yang sudah berlumut dan tidak terpakai.
Menurut cerita penduduk setempat, genting-genting itu pernah dipakai untuk mengganti rumbia sebagai atap. Namun ketika genting dipasang di atas liang lahat, genting itu kembali tertumpuk di sebelahnya pada keesokan harinya. Ada yang berpendapat bahwa orang yang pernah dimakamkan di situ tampaknya tidak berkenan jika tempatnya diubah-ubah.
Oleh karena itu, pelindung yang digunakan oleh makam tersebut tetap terbuat dari rumbia dan genting-genting yang sudah berlumut itu dibiarkan tertumpuk di dekatnya. Demikian juga dengan pagar yang mengelilinginya, tak ada seorang pun yang berani menggantinya dengan bahan kayu atau besi. Akibatnya, makam itu terlihat tidak terawat.
Bekas makam itu juga terletak di sudut sebuah tanah yang lapang. Bahkan menurut cerita penduduk setempat, pada hari-hari tertentu terutama hari Jumat Pahing, tempat ini sepi. Hal ini karena hari itu adalah hari pantangan untuk mengadakan kegiatan apa pun di sekitar lapangan tersebut.
Petilasan Joko Budug yang berada di Gunung Liliran dengan jarak kurang lebih 47 kilometer dari kota Ngawi (Kecamatan Ngawi). Wilayah ini tepatnya terletak di Desa Ketanggung, Kecamatan Sine. Gunung Liliran merupakan objek wisata alam dan spiritual. Selain alamnya yang menarik, di tempat ini juga digunakan sebagai ritual setiap tanggal 1 Muharram (1 Syuro, menurut penanggalan Jawa).
Kontributor : Wahyu Nugroho
Edytor : Guntur SH