Advertisement
MATALENSANEWS.com-Meski kini kau menjalani
Kehidupan sehari hari tanpa kami
Namun kami orang tuamu selalu bersamamu
Dalam kesenyapan doa
Teruntai dalam bingkai nada nada tulus
Melesat dalam pendakian lembah tinggi
Bernama harapan
Harapan kami tertumpu
Pada deburan ombak dan buih yang berbentuk Kalam dari para Pengasuh Pondok yang menghantam karang kebodohan dan kepapaan ilmu
Untuk segalanya saat ini telah ku labuhkan centang peretang hidupmu pada dermaga pondok pesantren
Hanya sebentuk puisi
Dari ketulusan hati
Untukmu anakku
Kujatuhkan tangis dan rinduku
Gedung Gelora Olah Raga (GOR) area terpadu Asrama Pendidikan Islam (API) Tegalrejo, Magelang Jawa Tengah telah menjadi saksi atas bertaburnya senyawa rindu dari ratusan orang tua kepada anak anak mereka yang mondok di Pesantren tersebut.
Setelah hampir lima bulan lamanya para orang tua berjauhan dengan anak anak mereka yang rata rata masih berumur 11 atau 12 tahun untuk hidup sehari hari di Asrama Pondok Pesantren dengan status sebagi Santri, dimana sebelumnya setiap hari anak anak tersebut hidup bersama orang tua sejak lahir maka tentu menyisakan beragam cerita dan keceriaan namun setelah anak berstatus sebagai santri maka anak tersebut harus jauh dari orang tua.
Selama hampir lima bulan anak anak tidak bisa di jenguk karena situasi pendemi Covid 19 yang belum tuntas maka menjadi salah satu dasar pertimbangan bagi pengasuh Ponpes API Tegalrejo Magelang untuk tidak memperkenankan bagi orang tua santri membesuk anak anaknya sehingga hanya kebijakan berupa Video Call (VC) yang difasilitasi Pesantren 1 bulan sekali selama 10 menit untuk menghubungkan orang tua dan santri, namun hal itu rasanya belum cukup bagi orang tua untuk meredakan dahaga rindu pada anak anaknya.
Setelah memasuki lima bulan maka otoritas Ponpes memberikan ijin bagi orang tua untuk menjenguk langsung anak anaknya di Pondok Pesantren dengan ketentuan Protokol Kesehatan yang ketat, karena kebijakan tersebut kami sebagai orang tua sangat memanfaatkan kesempatan tersebut, berhari hari kami seperti menghitung hari karena tidak sabar rasanya untuk selekasnya bertemu dengan anak kami, demikian nampaknya anak anak tentu menghitung hari detik demi detik menunggu kehadiran kami selaku orang tuanya, maka kami sejak habis subuh sudah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan agar kami tidak telat untuk sampai dan bertemu dengan anak kami, setelah kami sampai disana ternyata sudah berjubel antre para orang tua yang memiliki hasrat dan perasaan rindu yang sama pada anak anaknya.
Gedung GOR komplek terpadu API Tegalrejo Magelang menjadi semacam sungai yang mengalir air bah rindu orang tua pada anak yang bercampur dengan gelombang rindu anak pada orang tuanya, aliran deras membentuk ombak rindu rindu tersebut telah menyatu dalam senyawa kasih sayang yang terbingkai dalam titian samudra tak bertepi.
Merindukan seseorang adalah salah satu perasaan yang paling buruk dan tidak menyenangkan itulah kira kira dialami oleh kami para orang tua yang jauh dari anak terkasih, untuk itu nampak deretan orang tua dan santri berjubel memenuhi GOR, suasana sumpek dan panas telah terganti dengan suasana haru dan riang dengan lelehan air mata kebahagian. Anak anak tidak terasa sudah nampak bertambah besar dalam pertumbuhan fisiknya dan bertambah pula pengetahuan dan budi pekertinya, hal inilah yang kemudian menambah lengkap kebahagian kami sebagai orang tua.
Suasana GOR area Terpadu API Tegalrejo adalah lengskap tentang tautan batin kasih sayang antara orangtua dan anak yang tak bisa terputus meski mereka dipisahkan selama berbulan bulan oleh jarak yang sangat jauh, pertautan rindu telah meleleh bersamaan dengan pertemuan tersebut, lelehan rasa rindu orang tua kepada anak adalah fitrah karena orang tua adalah orang pertama yang memberikan cinta dan kasih sayang tulus dari lubuk hati, orang tua juga orang yang pertama kali mengenalkan dunia pada anaknya dan mendidiknya agar memiliki masa depan yang cerah. Kasih sayang orang tua memang sepanjang masa sehingga tidak pernah terhitung seberapa besar cinta mereka kepada anak-anaknya, orang tua pun rela melakukan berbagai cara untuk melihat dan membuat sang buah hatinya bahagia
Bagi kami memilih pilihan memondokan anak dalam berbagai pertimbangan merupakan prinsip dan orientasi hidup sehingga menitipkan anak di Pesantren dengan kosekwensi berpisah karena sehari hari tidak hidup dengan kami, maka hal tersebut bukanlah sebentuk ketegaan kami selaku orang tua, bukan kebencian kami selaku orang tua pada anak namun hal tersebut tentu juga belum dapat dipahami secara penuh oleh anak, bisa jadi anak anak tersebut justru berfikir kami orang tua tidak menyayangi atau kami selaku orang tua tidak mencintainya namun kami yakin kelak dikemudian hari anak anak itu akan memperoleh kesadaran jika apa yang kami lakukan menitipkan anak anak di Pesantren adalah untuk masa depan mereka sendiri.
Setelah anak anak tersebut mampu menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren dan menjalani kehidupan di luar maka baru dapat menyadari jika kami selaku orang tua tidak ada rasa benci namun justru sebaliknya itulah kasih sayang sebenarnya orang tua pada anak, karena memondokan anak adalah bentuk lain dari tanggung jawab kami selaku orang tua dalam memberikan pendidikan selain dan selebihnya adalah bentuk nyata dari lantunkan doa kami agar anak anak kami menjadi orang yang bermanfaat dunia maupun akhirat.
Memondokan anak ke Pesantren juga manifestasi rasa syukur kita kepada Allah SWT yang telah menganugrahkan anak kepada kami sehingga kami dapat disebut sebagai orang tua, untuk itu menitipkan anak ke Pesantren merupakan ikhtiar kami memberikan fasilitas pintu masa depan dunia dan akhirat, dengan menjadi santri kami memiliki harapan agar anak anak kami kelak mau yang mensholati jenazah kami nanti, mau menggotong keranda kami, mau memandikan diri kami, mau membungkus kain kafan kami dan mau secara istiqomah mendoakan kami karena bukankah ketika manusia meninggal dunia, maka terputus sudah amal jariahnya kecuali tiga perkara yakni sedekah jariyah, ilmu bermanfaat dan doa anak yang sholeh, hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang 3 amal yang tidak terputus pahalanya mesipun sudah wafat
Kami mempercayakan pendidikan anak kami di Pondok API Tegalrejo pesantren legendaris yang didirikan oleh KH. Chudlori pada tanggal 15 September 1944 yang kemudian masyur karena sangat menjaga sanad keilmuan dan dalam perkembanganya mampu memberikan sumbangsih yang besar terhadap kerukukanan umat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan tradisional Pondok API Tegalrejo salah satunya
yang terus berkembang menjadi suatu lembaga pendidikian yang menyesuaikan dengan kebutuhan jaman, menunjukkan bahwa peran pesantren sangat besar dalam kehidupan masyarakat
Semula pesantren -pesantren di Indonesia hanya menerima santri putra saja untuk belajar agama, tetapi pada perkembangan selanjutnya ada kebutuhan dari masyarakat untuk memberikan pendidikan agama yang memadai bagi putri-putri mereka, sehingga saat ini banyak pondok pesantren yang mendidik santri putra dan santri putri termasuk adalah Ponpes API Tegalrejo yang saat ini di asuh oleh KH. Yusuf Khudlori dan para Dzuriah KH. Khudori lainya.
Santri adalah murid/siswa yang belajar di pesantren dan santri terdiri dari santri putra dan santri putri, yang berstatus sebagai santri mukim atau santri kalong. Di Ponpes API maka santri mukim yaitu santri yang belajar dan menetap atau mondok di pesantren dan santri kalong yaitu santri yang belajar di pesantren tetapi tidak menetap/tinggal di pondok pesantren dan untuk Ponpes API Tegalrejo maka memisahkan pondok dan kelas untuk santri putra dengan santri putri. Santri- santri yang belajar di pesantren berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, bahkan ada pesantren yang santrinya berasal dari luar Indonesia dan dari berbagai tingkat sosial.
----------------------------------------
* Catatan ringan dari Reportase ketika kali pertama membesuk anak di Ponpes API Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
Minggu, 25 September 2021
** Penulis adalah orang tua salah satu santri di Ponpes API Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah yang sehari hari tinggal di Bantaran Kali Serang. Susukan, Kab. Semarang.