Advertisement
Gambar : ilustrasi
MATALENSANEWS.com-(Proses hukum ke pengadilan bagi Pelaku Pembelaan terpaksa (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧) adalah untuk 𝗺𝗲𝗺𝗽𝗲𝗿𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗸𝗲𝗽𝗮𝘀𝘁𝗶𝗮𝗻 𝗵𝘂𝗸𝘂𝗺 bagi tersangka dan masyarakat, juga dimaksudkan untuk 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗶𝗻𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗮𝗱𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗲𝗻𝘆𝗮𝗹𝗮𝗵𝗴𝘂𝗻𝗮𝗮𝗻 𝗮𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗽𝗮𝗸𝘀𝗮 (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧).
Banyak orang yang berpendapat bahwa 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗶𝗻𝗱𝗮𝗸 𝗽𝗶𝗱𝗮𝗻𝗮 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗽𝗮𝗸𝘀𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗱𝗶𝗷𝗮𝗱𝗶𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝘀𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗸𝗮𝘁𝗮 𝗹𝗮𝗶𝗻 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗱𝗶𝗽𝗿𝗼𝘀𝗲𝘀 𝗵𝘂𝗸𝘂𝗺.
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝘀𝗲𝗯𝗲𝗻𝗮𝗿𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗮𝘁𝘂𝗿𝗮𝗻 𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺 𝗣𝗶𝗱𝗮𝗻𝗮 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗵𝗮𝗹 𝘀𝗲𝘀𝗲𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗶𝗻𝗱𝗮𝗸 𝗽𝗶𝗱𝗮𝗻𝗮 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮 𝗱𝗶𝗿𝗶 ?
Dalam Hukum Pidana dikenal 𝗔𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗽𝘂𝘀𝗸𝗮𝗻 atau 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗴𝘂𝗴𝘂𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗻𝘂𝗻𝘁𝘂𝘁𝗮𝗻 (𝙑𝙚𝙧𝙫𝙖𝙡𝙫𝙖𝙣 𝙧𝙚𝙘𝙝𝙩 𝙩𝙤𝙩 𝙨𝙩𝙧𝙖𝙛𝙫𝙤𝙧𝙙𝙚𝙧𝙞𝙣𝙜) dan 𝗮𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗽𝘂𝘀𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗺𝗶𝗱𝗮𝗻𝗮𝗮𝗻 atau 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗽𝘂𝘀𝗸𝗮𝗻 𝗵𝘂𝗸𝘂𝗺𝗮𝗻 (𝙎𝙩𝙧𝙖𝙛𝙪𝙞𝙩𝙨𝙡𝙪𝙞𝙩𝙞𝙣𝙜𝙨𝙜𝙧𝙤𝙣𝙙𝙚𝙣).
Alasan yang menghapuskan penuntutan baik yang terdapat dalam KUHP maupun di luar KUHP, antara lain : - 𝘕𝘦𝘣𝘪𝘴 𝘪𝘯 𝘪𝘥𝘦𝘮 (Pasal 76 KUHP) yakni dalam hal suatu perkara yang telah mendapatkan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, tidak boleh lagi diperkarakan dua kali. - Pelaku meninggal dunia (Pasal 77 KUHP). - Daluwasa Penuntutan (Pasal 78 KUHP), -Telah ada pembayaran denda maksimum untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda (Pasal 82 KUHP), -Telah dilakukan Perkara diselesaikan secara restoratif justice : diversi (UU.No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak). Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan Kejaksaan No.15 tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. - Mendapat Abolisi dari Presiden, - Mendapat Amnesti dari Presiden.
Sedangkan alasan yang menghapuskan pemidanaan (Hukuman) antara lain : - Ketidakmampuan bertanggung jawab (𝙤𝙣𝙩𝙤𝙚𝙧𝙚𝙠𝙚𝙣𝙞𝙣𝙜𝙨𝙫𝙖𝙩𝙗𝙖𝙖𝙧𝙝𝙚𝙞𝙙) Pasal 44 KUHP misalnya orang gila, - Adanya daya paksa (𝙤𝙫𝙚𝙧𝙢𝙖𝙘𝙝𝙩) baik daya paksa absolut, daya paksa relatif maupun terdapat keadaan darurat (Pasal 48 KUHP),- 𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝘂𝗿𝗮𝘁 atau 𝗽𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗽𝗮𝗸𝘀𝗮 (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧) dalam Pasal 49 (1) KUHP, - 𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝘂𝗿𝗮𝘁 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗽𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗽𝗮𝗸𝘀𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗺𝗽𝗮𝘂𝗶 𝗯𝗮𝘁𝗮𝘀 (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧𝙚𝙭𝙘𝙚𝙨) dalam Pasal 49 (2) KUHP. - Melaksanakan Perintah Undang-Undang (Pasal 50 KUHP), - Melaksanakan Perintah Jabatan (Pasal 51 KUHP) dan beberapa alasan yang menghapuskan pemidanaan lainnya yang secara khusus disebutkan dalam Pasal tindak pidana yang bersangkutan. - Diluar KUHP antara lain mendapat Grasi.
Begitu terdapat alasan yang menghentikan penuntutan (𝙑𝙚𝙧𝙫𝙖𝙡𝙫𝙖𝙣 𝙧𝙚𝙘𝙝𝙩 𝙩𝙤𝙩 𝙨𝙩𝙧𝙖𝙛𝙫𝙤𝙧𝙙𝙚𝙧𝙞𝙣𝙜), maka pada saat itu juga negara tidak bisa melakukan penuntutan. Dengan kata lain negara kehilangan hak menuntutnya.
Akan tetapi dalam hal terdapat alasan yang menghapuskan pemidanaan (𝙎𝙩𝙧𝙖𝙛𝙪𝙞𝙩𝙨𝙡𝙪𝙞𝙩𝙞𝙣𝙜𝙨𝙜𝙧𝙤𝙣𝙙𝙚𝙣), maka negara tetap memiliki hak untuk menuntut dalam arti pelaku tindak pidana tetap diproses ke pengadilan.
Oleh karena pembelaan darurat atau Pembelaaan terpaksa (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧) merupakan alasan yang menghapuskan pemidanaan (𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗮𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗽𝘂𝘀𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗻𝘂𝗻𝘁𝘂𝘁𝗮𝗻), maka orang yang melakukan pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧) tetap diproses hukum.
Di pengadilan akan dibuktikan apakah pembelaan terpaksa yang dilakukan itu memenuhi syarat atau tidak menurut hukum pidana. Jika memenuhi syarat pembelaan terpaksa (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧), maka putusan pengadilan menyatakan bahwa sifat melawan hukum perbuatannya hapus, karena adanya ketentuan undang-undang atau hukum yang membenarkan perbuatannya atau yang memaafkan terdakwa dalam hal Pembelaan yang melampaui batas (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧𝙚𝙭𝙘𝙚𝙨).
Syarat Pembelaan terpaksa terpenuhi sehingga tidak dapat dipidana. Akan tetapi jika syarat pemebelaan terpaksa (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧) tidak terpenuhi maka orang yang melakukan pembelaan terpaksa tersebut tetap dipidana sesuai Tindak Pidana yang dilakukannya.
Menurut saya meskipun orang melakukan pembelaan terpaksa itu diproses hukum, namun Para penegak hukum tetap mengedepankan Asas Praduga tak bersalah. Proses hukum ke pengadilan adalah untuk 𝗺𝗲𝗺𝗽𝗲𝗿𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗸𝗲𝗽𝗮𝘀𝘁𝗶𝗮𝗻 𝗵𝘂𝗸𝘂𝗺 bagi tersangka dan masyarakat, juga dimaksudkan untuk 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗶𝗻𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗮𝗱𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗲𝗻𝘆𝗮𝗹𝗮𝗵𝗴𝘂𝗻𝗮𝗮𝗻. 𝗮𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗽𝗮𝗸𝘀𝗮 (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧).
𝐒𝐘𝐀𝐑𝐀𝐓 𝐏𝐄𝐌𝐁𝐄𝐋𝐀𝐀𝐍 𝐓𝐄𝐑𝐏𝐀𝐊𝐒𝐀
Sebelum membahas tentang syarat pembelaan terpaksa, maka terlebih dahulu Saya jelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan Pembelaan terpaksa.
Pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat dalam hukum pidana dikenal dengan Istilah 𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧.
Istilah 𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧 terdiri atas kata “𝙉𝙤𝙤𝙙” yang berarti “𝗗𝗮𝗿𝘂𝗿𝗮𝘁”, dan kata “𝙬𝙚𝙚𝙧” berarti “𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻”. Jadi secara harafiah perkataan “𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧” itu dapat diartikan sebagai “𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗸𝗲𝗮𝗱𝗮𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝘂𝗿𝗮𝘁”.
𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧 sebenarnya merupakan sebuah perkataan yang telah dipergunakan untuk menyebut lembaga pembelaan yang perlu dilakukan terhadap serangan yang bersifat seketika dan yang bersifat melawan hukum, yang dalam ilmu pengetahuan hukum pidana disebut juga dengan istilah 𝙉𝙤𝙩𝙬𝙚𝙝𝙧, 𝙇𝙚𝙜𝙞𝙩𝙞𝙢 𝙙𝙚𝙛𝙚𝙣𝙨𝙚, atau 𝙍𝙚𝙘𝙝𝙩𝙫𝙚𝙧𝙙𝙚𝙙𝙞𝙜𝙞𝙣𝙜 ataupun 𝙈𝙤𝙙𝙚𝙧𝙖𝙢𝙚𝙣 𝙞𝙣𝙘𝙪𝙡𝙥𝙖𝙩𝙖𝙚 𝙏𝙪𝙩𝙚𝙡𝙖𝙚.
𝗦𝗮𝘁𝗼𝗰𝗵𝗶𝗱 𝗞𝗮𝗿𝘁𝗮𝗻𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮 (tt:434), memberikan pengertian alasan atau dasar yang menghapuskan pemidanaan (𝙎𝙩𝙧𝙖𝙛𝙪𝙞𝙩𝙨𝙡𝙪𝙞𝙩𝙞𝙣𝙜𝙨𝙜𝙧𝙤𝙣𝙙𝙚𝙣) yaitu hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan bahwa seseorang yang telah melakukan sesuatu perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (jadi perbuatan yang berupa tindak pidana) tidak dapat dihukum. Salah satunya adalah Pembelaan terpaksa (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧).
Ketentuan yang mengatur mengenai pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧) dapat dijumpai dalam Pasal 49 (1) KUHP sebagai berikut:
“𝗕𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴𝘀𝗶𝗮𝗽𝗮 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗿𝗯𝘂𝗮𝘁𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗲𝗿𝗽𝗮𝗸𝘀𝗮 𝗱𝗶𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗺𝗲𝗺𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗵𝗮𝗻𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗿𝗶𝗻𝘆𝗮 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗱𝗶𝗿𝗶 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗮𝗶𝗻, 𝗺𝗲𝗺𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗵𝗮𝗻𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗵𝗼𝗿𝗺𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗵𝗮𝗿𝘁𝗮 𝗯𝗲𝗻𝗱𝗮 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗸𝗲𝗽𝘂𝗻𝘆𝗮𝗮𝗻 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗮𝗶𝗻, 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝘀𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗹𝗮𝘄𝗮𝗻 𝗵𝗮𝗸 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻𝗰𝗮𝗺 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗴𝗲𝗿𝗮 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝘀𝗮𝗮𝘁 𝗶𝘁𝘂 𝗷𝘂𝗴𝗮, 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗱𝗶𝗵𝘂𝗸𝘂𝗺 (𝗥. 𝗦𝗼𝗲𝘀𝗶𝗹𝗼, 1995).”
Pembelaan yang bisa dilakukan menurut Pasal 49 (1) KUHP adalah adanya (1) Serangan yang bersifat melawan hukum yang bersifat seketika terhadap diri sendiri atau orang lain, (2) Kehormatan diri sendiri atau kehormatan orang lain, dan (3) Terhadap harta benda sendiri atau harta benda orang lain.
Syarat 𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧 itu adalah: Syarat yang harus dipenuhi “𝘀𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮”
Syarat yang harus dipenuhi “𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮”
𝗔. 𝗦𝘆𝗮𝗿𝗮𝘁 𝗦𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻
Serangan yang datang itu 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗯𝗲𝗿𝘀𝗶𝗳𝗮𝘁 𝗺𝗲𝗹𝗮𝘄𝗮𝗻 𝗵𝘂𝗸𝘂𝗺 (𝙒𝙚𝙙𝙚𝙧𝙧𝙚𝙘𝙝𝙩𝙚𝙡𝙞𝙟𝙠).
Menurut Pompe bahwa perkataan melawan hukum (𝙒𝙚𝙙𝙚𝙧𝙧𝙚𝙘𝙝𝙩𝙚𝙡𝙞𝙟𝙠) dalam Pasal 49 (1) KUHP itu harus diartikan sebagai “𝗯𝗲𝗿𝘁𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗵𝘂𝗸𝘂𝗺” yang mempunyai arti lebih luas dari pada sekadar “bertentangan dengan undang-undang”. Sehingga disamping peraturan perundang-undangan juga termasuk pengertiannya peraturan-peraturan yang tidak tertulis.
Serangan itu 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗺𝗲𝗻𝗱𝗮𝘁𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗮𝗵𝗮𝘆𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻𝗰𝗮𝗺 𝘀𝗲𝗰𝗮𝗿𝗮 𝗹𝗮𝗻𝗴𝘀𝘂𝗻𝗴 𝘁𝗲𝗿𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽 𝘁𝘂𝗯𝘂𝗵 (𝙇𝙞𝙟𝙛), 𝗞𝗲𝗵𝗼𝗿𝗺𝗮𝘁𝗮𝗻 (𝙀𝙚𝙧𝙗𝙖𝙖𝙧𝙝𝙚𝙞𝙙) atau 𝗵𝗮𝗿𝘁𝗮 𝗯𝗲𝗻𝗱𝗮 (𝙂𝙤𝙚𝙙).
Syarat ini meliputi tubuh diri sendiri atau orang lain, kehormatan diri sendiri atau kehormatan orang lain dan Harta benda sendiri atau harta benda kepunyaan orang lain.
Pengertian tubuh disini adalah badan seutuhnya dan juga berkenaan dengan nyawa termasuk masalah tidak terganggunya kebebasan untuk bergerak.
Kehormatan dalam Pasal 49 (1) KUHP ini tidak seluas pengertian kehormatan secara umum yang juga meliputi nama baik. Kehormatan di sini hanyalah khusus menyangkut 𝗸𝗲𝗵𝗼𝗿𝗺𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗸𝗲𝘀𝘂𝘀𝗶𝗹𝗮𝗮𝗻 yakni “𝗸𝗲𝗺𝗮𝗹𝘂𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝘂𝗿𝘂𝘁 𝗸𝗲𝗹𝗮𝗺𝗶𝗻”. Dengan demikian orang yang dihina tidak boleh melakukan pembelaan terpaksa (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧).
Pengertian harta benda dalam Pasal 49 (1) KUHP, adalah benda yang berwujud. Termasuk dalam perkembangan pengertian benda adalah strom listrik, gas, data computer dan pulsa.
𝗦𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗶𝘁𝘂 𝗯𝗲𝗿𝘀𝗶𝗳𝗮𝘁 𝘀𝗲𝗸𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮
Serangan harus bersifat seketika atau istilah lain sekonyong-konyong atau tiba-tiba. Dalam penjelasan 𝙢𝙚𝙢𝙤𝙧𝙞𝙚 𝙫𝙖𝙣 𝙩𝙤𝙚𝙡𝙞𝙘𝙝𝙩𝙞𝙣𝙜 bahwa tidak terdapat noodweer tanpa adanya suatu bahaya yangt bersifat seketika bagi tubuh (sendiri atau orang lain), kehormatan (sendiri atau orang lain) atau benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain.
Itulah sebabnya mengapa pembelaan terpaksa (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧) itu dibenarkan utuk dilakukan karena adanya serangan yang tiba-tiba dan tidak dapat diharapkan perlindungan dari aparat Negara (Kepolisian).
Menurut 𝘃𝗮𝗻 𝗛𝗮𝘁𝘁𝘂𝗺 (𝗟𝗮𝗺𝗶𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴,1984:446), bahwa perbuatan yang telah dilakukan dalam suatu pembelaan terpaksa (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧) itu tidaklah bersifat melawan hukum. Perbuatan yang dilakukan dalam pembelaan terpaksa itu dapat disamakan dengan “𝗣𝗲𝗿𝗯𝘂𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗺𝗮𝗶𝗻 𝗵𝗮𝗸𝗶𝗺 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝘀𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘂𝗻𝗱𝗮𝗻𝗴-𝘂𝗻𝗱𝗮𝗻𝗴”. Perbuatan tersebut terpaksa disahkan oleh karena Negara telah tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya yaitu untuk menjamin keselamatan warga negaranya pada saat terjadi suatu serangan (tiba-tiba).
𝗔𝗻𝗱𝗶 𝗭𝗮𝗶𝗻𝗮𝗹 𝗔𝗯𝗶𝗱𝗶𝗻 (2010:200) mengatakan bahwa oLeh karena adanya syarat bahwa serangan itu “𝗛𝗮𝗿𝘂𝘀 𝘀𝗲𝗸𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗶𝘁𝘂 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻𝗰𝗮𝗺”, maka pembelaan terpaksa (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧) tidak boleh dilakukan dalam hal : “Serangan yang mengancam itu akan terjadi dikemudian hari atau Serangan itu telah selesai.
Apabila serangan telah selesai, maka tidak boleh melakukan pembelaan terpaksa. Contoh Putusan 𝙃𝙤𝙜𝙚 𝙍𝙖𝙖𝙙 tanggal 22 Nopember 1949. “Tertuduh (terdakwa) telah melepaskan tiga kali tembakan yang menyebabkan orang tersebut jatuh tergeletak di atas tanah sambil mengerang-ngerang. Tujuh menit kemudian orang tersebut telah berusaha untuk bangkit dan (terdakwa) telah kembali melepaskan sebuah tembakan yang menyebabkan orang tersebut meninggal dunia. Pada tembakan yang terakhir itu sudah tidak terdapat 𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧 atau 𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧𝙚𝙭𝙘𝙚𝙨, oleh karena serangan itu telah lama berakhir.
Ketika si Penyerang telah bersujud minta ampun tak berdaya, maka tidak ada lagi 𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧.
Bagaimana dalam kasus pencurian? Selama barang yang dicuri itu masih berada dalam tangan pencuri, maka dianggap serangan masih berlangsung sehingga masih dapat dilakukan pembelaan terpaksa (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧).
𝐁. 𝐒𝐲𝐚𝐫𝐚𝐭 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐞𝐥𝐚𝐚𝐧
Syarat pertama dari pembelaan adalah : 𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻 𝗶𝘁𝘂 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗯𝗲𝗿𝘀𝗶𝗳𝗮𝘁 𝗽𝗲𝗿𝗹𝘂 (𝙣𝙤𝙤𝙙𝙯𝙖𝙠𝙚𝙡𝙞𝙟𝙠𝙚).
𝗦𝗮𝘁𝗼𝗰𝗵𝗶𝗱 𝗞𝗮𝗿𝘁𝗮𝗻𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮 (tt:467) menggunakan istilah 𝗽𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗲𝗿𝗽𝗮𝗸𝘀𝗮 (𝙣𝙤𝙤𝙙𝙯𝙖𝙠𝙚𝙡𝙞𝙟𝙠𝙚 𝙫𝙚𝙧𝙙𝙤𝙙𝙞𝙜𝙞𝙣𝙜). Yaitu “𝗮𝗽𝗮𝗯𝗶𝗹𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝗷𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗶𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗺𝘂𝗻𝗴𝗸𝗶𝗻𝗸𝗮𝗻 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗶𝗱𝗮𝗿𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗲𝘀𝘂𝗮𝘁𝘂 𝘀𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻”. Artinya bahwa 𝗮𝗽𝗮𝗯𝗶𝗹𝗮 𝗺𝗮𝘀𝗶𝗵 𝘁𝗲𝗿𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗸𝗲𝗺𝘂𝗻𝗴𝗸𝗶𝗻𝗮𝗻 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗯𝗲𝗿𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗹𝗮𝗶𝗻 𝗴𝘂𝗻𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗶𝗻𝗱𝗮𝗿𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻, 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗵𝗮𝗹 𝗶𝘁𝘂 𝗽𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗱𝗶𝗸𝗮𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗽𝗮𝗸𝘀𝗮 (𝙣𝙤𝙤𝙙𝙯𝙖𝙠𝙚𝙡𝙟𝙠𝙚). Rumusan itu juga berarti bahwa 𝗮𝗽𝗮𝗯𝗶𝗹𝗮 𝘁𝗲𝗿𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗷𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗶𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗿𝗶𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗷𝗮𝗹𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝘁𝗲𝗺𝗽𝘂𝗵𝗻𝘆𝗮 (𝘆𝗮𝗶𝘁𝘂 𝗽𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻), 𝗺𝗮𝗸𝗮 𝗷𝗮𝗹𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝘁𝗲𝗺𝗽𝘂𝗵 𝗶𝘁𝘂 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻𝗹𝗮𝗵 𝗽𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗽𝗮𝗸𝘀𝗮 (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧). Dalam kaitan ini, yang dipergunakan sebagai dasar untuk menentukan apakah sesuatu pembelaan itu terpaksa atau tidak, maka dipergunakan 𝗔𝘀𝗮𝘀 𝗦𝘂𝗯𝘀𝗶𝗱𝗶𝗮𝗿𝗶𝘁𝗮𝘀.
Sebagi contoh: A hendak memukul B dengan tongkat.
Dalam hal ini B menghadapi serangan dari A yang melawan hukum dan mengancam langsung. Pembelaan yang dapat dilakukan oleh B adalah bermacam-macam. B dapat menembak A. akan tetapi apabila B masih dapat memukul A untuk menghindarkan diri dari serangan A, maka pembelaan yang dilakukan oleh B dengan cara menembak bukanlah pembelaan terpaksa (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧).
Syarat kedua dari Pembelaan adalah “Tindakan yang dapat dibenarkan oleh suatu pembelaan seperlunya”.
Syarat ini menentukan bahwa dalam melakukan pembelaan, maka Tidak boleh dilakukan dengan cara berlebihan. Kita harus memperhatikan 𝗔𝘀𝗮𝘀 𝗣𝗿𝗼𝗽𝗼𝗿𝘀𝗶𝗼𝗻𝗮𝗹𝗶𝘁𝗮𝘀 ataupun 𝗔𝘀𝗮𝘀 𝗦𝘂𝗯𝘀𝗶𝗱𝗶𝗮𝗿𝗶𝘁𝗮𝘀.
𝗔𝘀𝗮𝘀 𝗣𝗿𝗼𝗽𝗼𝗿𝘀𝗶𝗼𝗻𝗮𝗹𝗶𝘁𝗮𝘀 menentukan bahwa harus ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilindungi dengan kepentingan hukum yang dilanggar. 𝗦𝗮𝘁𝗼𝗰𝗵𝗶𝗱 𝗞𝗮𝗿𝘁𝗮𝗻𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮 (tt: 470) menuliskan 𝙀𝙫𝙚𝙧𝙚𝙙𝙞𝙜𝙝𝙚𝙞𝙙 𝙗𝙚𝙜𝙞𝙣𝙨𝙚𝙡 (𝗔𝘀𝗮𝘀 𝗸𝗲𝘀𝗲𝗶𝗺𝗯𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻) harus ada keseimbangan anatara kepentingan hukum yang dibela dengan kepentingan hukum yang dilanggar.
𝗔𝘀𝗮𝘀 𝗦𝘂𝗯𝘀𝗶𝗱𝗶𝗮𝗿𝗶𝘁𝗮𝘀. menentukan bahwa jika ada cara perlawanan yang kurang membahayakan, orang yang diserang tidak boleh memilih cara yang lebih berat dan mengakibatkan kerugian yang lebih besar pada si penyerang. Sudah tentu maksud pembuat undang-undang ialah untuk menentukan bahwa kepentingan yang dilanggar oleh si pembela tidak boleh lebih besar dari pada kepentingan yang dibelanya. Seorang pencuri buah mangga tidak boleh ditebas kakinya dengan sebilah parang apalagi menembaknya.
Jika yang diserang adalah badan (termasuk nyawa) dengan menggunakan celurit, maka masih seimbang apabila pembelaan dilakukan dengan jalan membacok juga. Tetapi misalnya seorang pencuri hand phone yang sudah tidak bersenjata membawa lari hand phone curiannya itu senilai dua juta rupiah, dapatkah dilakukan pembelaan dengan jalan membacok celurit badan si pencuri ????? ataukah cukup dengan memukul dengan tinju dan menjatuhkannya dari motornya ???? jawabnya 𝗔𝘀𝗮𝘀 𝗦𝘂𝗯𝘀𝗶𝗱𝗶𝗮𝗿𝗶𝘁𝗮𝘀. dan 𝗔𝘀𝗮𝘀 𝗣𝗿𝗼𝗽𝗼𝗿𝘀𝗶𝗼𝗻𝗮𝗹𝗶𝘁𝗮𝘀 atau 𝗔𝘀𝗮𝘀 𝗸𝗲𝘀𝗲𝗶𝗺𝗯𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 (𝙀𝙫𝙚𝙧𝙚𝙙𝙞𝙜𝙝𝙚𝙞𝙙 𝙗𝙚𝙜𝙞𝙣𝙨𝙚𝙡 ). Menurut saya membacok pencuri yang tidak bersenjata sudah melampaui batas pembelaan.
𝐋𝐚𝐥𝐮 𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐣𝐢𝐤𝐚 𝐩𝐞𝐦𝐛𝐞𝐥𝐚𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐦𝐩𝐚𝐮𝐢 𝐛𝐚𝐭𝐚𝐬 ?
Menurut Pasal 49 ayat (2) KUHP, Melampaui batas pembelaan yang sangat perlu, jika perbuatan itu secara tiba-tiba dilakukan karena adanya 𝗴𝗼𝗻𝗰𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗷𝗶𝘄𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗮𝗵𝘀𝘆𝗮𝘁 saat itu juga, tidak boleh dipidana.
Syarat tambahan pembelaan yang melampaui batas (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧𝙚𝙭𝙘𝙚𝙨) adalah disamping adanya 𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝘁 𝘀𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 sebagaimana dalam pembelaan terpaksa, juga syarat adanya 𝗴𝗼𝗻𝗰𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗷𝗶𝘄𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗮𝗵𝘀𝘆𝗮𝘁 yang merupakan 𝗮𝗸𝗶𝗯𝗮𝘁 𝗹𝗮𝗻𝗴𝘀𝘂𝗻𝗴 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝘀𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻.
Semula Pembuat undang-undang menafsirkan goncangan jiwa yang dahsyat sebagai 𝗽𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮𝗮𝗻 𝘁𝗮𝗸𝘂𝘁, 𝗸𝗵𝗮𝘄𝗮𝘁𝗶𝗿 atau 𝗯𝗶𝗻𝗴𝘂𝗻𝗴 (𝙫𝙧𝙚𝙚𝙨, 𝙖𝙣𝙜𝙨𝙩 𝙤𝙛 𝙧𝙖𝙙𝙚𝙡𝙤𝙤𝙨𝙝𝙚𝙞𝙙), tetapi dalam perkembangannya kini 𝗮𝗺𝗮𝗿𝗮𝗵 dan 𝗸𝗲𝗺𝘂𝗿𝗸𝗮𝗮𝗻 (𝙩𝙤𝙤𝙧𝙣 𝙚𝙣 𝙙𝙧𝙞𝙛𝙩) sudah termasuk dalam pengertian goncangan jiwa yang dahsyat.
Dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas (𝙉𝙤𝙤𝙙𝙬𝙚𝙚𝙧𝙚𝙭𝙘𝙚𝙨), 𝗔𝘀𝗮𝘀 𝗣𝗿𝗼𝗽𝗼𝗿𝘀𝗶𝗼𝗻𝗮𝗹𝗶𝘁𝗮𝘀 ataupun 𝗔𝘀𝗮𝘀 𝗦𝘂𝗯𝘀𝗶𝗱𝗶𝗮𝗿𝗶𝘁𝗮𝘀 menjadi longgar. Kerugian akibat pembelaan lebih besar dari pada kerugian akibat serangan.
Semoga bermanfaat.