Advertisement
Oleh : Sofyan Mohammad
Part 2
MATALENSANEWS.com-Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan salah satu kisah tentang Joko Tarub. Diuraikan jika Joko Tarub adalah seorang pemuda yang berpostur gagah yang sejak kecil telah memiliki bakat kesaktian secara alami. Menurut sumber keterangan Juru Kunci makam Joko Tarub merupakan keturunan dari Syech Jumadil Kubro. Dalam lansiran Wikipedia Syekh Jumadil Qubro atau Jamaluddin Akbar al-Husaini atau Maulana Husain Jumadil Kubro berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah. Beliau diyakini sebagai keturunan ke-10 dari al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Kisah hidup Joko Tarub adalah satu diantara kisah legenda yang mengisi lembar cerita rakyat di Indonesia. Dalam tulisan ini menyangkut jejak Joko Tarub yang berada di wilayah Grobogan, Jawa Tengah sebab setidaknya ada beberapa nama dukuh di wilayah Grobogan muncul yang bertolak dari kisah hidup Joko Tarub ini.
Dikisahkan untuk mengasah bakat keliwunihanya sejak kecil Joko Tarub sering keluar masuk hutan untuk berburu sekaligus untuk melakukan tetirah dikawasan hutan dan gunung gunung yang keramat. Menurut spekulasi penulis epos ini berlangsung pada masa akhir kerajaan Majapahit yaitu di masa tampuk kekuasaan Prabu Brawijaya V dalam hal ini yang dimaksud Prabu Brawijaya V menurut rilis Wikipedia adalah Dyah Ranawijaya atau disebut Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang merupakan raja terakhir Majapahit yang memerintah tahun 1474—1498 M.
Dikisahkan sewaktu Joko Tarub masih muda pada suatu hari dia sedang berburu disebuah hutan di kawasan pegunungan keramat yang terdapat sebuah telaga. Terkait dengan tempat ini selanjutnya dengan merangkum dari berbagai sumber bacaan, setidaknya ada dua desa di wilayah Grobogan yang berkaitan dengan kisah hidupnya yaitu :
1. Di Dusun Serman, Desa Pojok, Kecamatan Tawangharjo, Grobogan sekitar 1 kilometer dari Makam Ki Ageng Tarub yang terletak di Desa Tarub, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah ada sendang Bidadari yang berada diantara rimbunnya hutan jati. Selain dianggap sakral dan profan maka air sendang ini juga dianggap keramat untuk pengobatan ketika digunakan untuk mandi.Sendang ini juga sering digunakan oleh masyarakat tertentu untuk topo kungkum (berendam) dalam sebuah ritual tertentu sebab masyarakat sekitar meyakini sendang ini memiliki ikatan sejarah yang panjang dengan kisah Joko Tarub dengan bidadari Dewi Nawangwulan. Diceritakan sendang tersebut digunakan khusus bagi Dewi Nawangwulan untuk keperluan sehari-hari. Diatas sumber mata air tersebut terdapat sebuah pohon Tlogosari yang konon sengaja ditanam oleh Dewi Nawangwukan yang dimaksudkan sebagai tetenger atau pertanda tentang keberadaanya.
Selaian di tempat tersebut masih di wilayah Grobogan ada kisah Joko Tarub dan Dewi Nawangwulan juga dikaitkan dengan keberadaan
Curug Widuri yang terletak di Desa Kemaduh Batur, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Lebih tepatnya, pada KM 10 Jalan Raya Purwodadi - Blora lewat perempatan Ngantru ke arah utara atau searah dengan makam Jaka Tarub yang berada di Desa Tarub. Curug Widuri berupa air terjun dengan ketinggian sekitar 40 meter. Air di curug mengalir dari ketinggian sangat jernih dan sejuk. Diaroma tempat ini juga sangat menawan sebab dikelilingi dengan pemandangan hijau karena pepohonan yang tumbuh kekar dan rindang sebagai tambatan bagi kawanan kera liar.
Selain dua tempat di wilayah Grobogan tersebut diatas maka beberapa tempat lain juga diyakini terkait erat dengan legenda Joko Tarub dan Dewi Nawangwulan yaitu berada di :
1. Air Terjun Sekar Langit yang terletak di Desa Tlogorejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Tempat ini dalam keyakinan masyarakat sekitar selalu dikaitkan dengan legenda Jaka Tarub dan Nawangwulan, seorang bidadari dari khayangan. Air Terjun Sekar Langit memiliki ketinggian air mencapai 25 meter dari permukaan telaga. Airnya tidak pernah mengering sehingga dapat mengalir di tiap musim. Kondisi di sekitar air terjun yang berada di lereng Gunung Telomoyo, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga ini hingga saat ini masih terlihat secara alami.
2. Sendang Nur Cahyo atau dikenal dengan nama Sendang Bidadari yang terletak di desa Daren, kecamatan Nalumsari, Kabupaten Jepara. Desa Daren terletak paling timur Kabupaten Jepara yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Jepara. Dekat lokasi ini juga ada pusara makam yang diyakini masayarakat setempat sebagai Makam Jaka Tarub.
3. Sendang Kamulyan yang berada di Dusun Taruban, Desa Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kulonprogo, D. I. Yogyakarta. Sendang ini menempati sebuah lahan yang cukup luas dan disekitar sendang terdapat sesaji bebungaan dan kemenyan yang diletakkan disebuah tempat pengunjung. Di sekitar sendang ini terdapat batu yang diyakini sebagai bekas lutut dan tangan Jaka Tarub yang saat ini masih dikeramatkan. Hingga saat ini masyarakat setempat masih mempercayai jika air sendang itu bisa menyembuhkan beberapa penyakit seseorang apabila digunakan untuk mandi.
4. Di Desa Widodaren Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur juga terdapat sebuah makam yang diyakini sebagai pusara makam Jaka Tarub. Demikian nama Widodaren sendiri berasal dari istilah Jawa yaitu Widodari yang artinya Bidadari.
Terlepas dimana tempat berlangsung maka semua sumber flokfor (cerita run temurun) puzle kisah nyaris sama yaitu ketika Joko Tarub sedang berburu tanpa dia sengaja telah melihat dan telah berkesudahan mengamati tujuh bidadari sedang mandi di telaga (sendang) tersebut. Hingga karena terpikat selanjutnya Jaka Tarub dengan sengaja mengambil selendang milik salah satu bidadari yang tengah disampirkan atau diletakan di bibir sendang. Ketika para bidadari selesai mandi, mereka berdandan dan siap kembali ke kahyangan namun salah seorang bidadari tidak menemukan selendangnya, hingga tidak bisa terbang bersama para saudarinya untuk kembali kekahyangan padahal waktu itu hari sudah berangkat senja. Dalam kebingungan, bidadari tersebut berucap yaitu apabila ada laki-laki yang mau menolongnya maka orang tersebut akan dijadikan suami, dan pabila perempuan maka akan dijadikan saudari.
Dalam situasi itu tiba tiba muncul Joko Tarub yang berpura-pura membantu. Bidadari tersebut selanjutnya diketahui bernama Dewi Nawangwulan. Karena tidak ada pilihan maka Dewi Nawangwulan mau saja diajak pulang ke rumah Joko Tarub mengingat hari sudah memasuki waktu senja. Kisah berikutnya disebutkan jika antara Joko Tarub dan Dewi Nawangwulan pada akhirnya menikah dan Dewi Nawangwulan telah berubah layaknya manusia pada umumnya sebab selendang sakti yang dimilikinya telah berhasil disimpan didalam grobog lumbung padi oleh Joko Tarub.
Setelah menikah Joko Tarub dan Dewi Nawangwulan dikaruniai seorang putri yang diberi nama Dewi Nawangsih. Diceritakan Dewi Nawangwulan setiap kali menanak nasi hanya membutuhkan sebutir padi dan setelah matang hasilnya akan menjadi sewakul atau seperiuk nasi yang kiranya cukup untuk dimakan sekeluarga. Hal itu karena ketika menanak nasi menggunakan Dandang (tempat dari semacam tembaga untuk menanak nasi) keramat yang diberi nama "Dandang Sedudo". Menurut berbagai cerita Dandang tersebut hingga kini masih ada dan disimpan di Keraton Surakarta Hadininingrat.
Dewi Nawangwulan sejak awal menikah telah berpesan kepada Joko Tarub yaitu melarang Joko Tarub agar tidak membuka penutup dandang ketika sedang digunakan untuk menanak nasi. Namun suatu ketika pada saat Dewi Nawangwulan sedang mencuci pakaian di Sendang dan sebelum berangkat menuju Sendang sempat berpesan pada Joko Tarub agar hanya momong anaknya saja dengan cara mengayun ayunkan bayi Dewi Nawangsih pada beranda pengayunan dan dilarang sekalipun untuk membuka penutup dandang sedudo yang sedang digunakan untuk menanak nasi.
Ketika Dewi Nawangwulan sudah meninggalkan rumah, Joko Tarub yang dilanda rasa penasaran justru beranjak ke dapur dan langsung membuka tutup dandang penanak nasi untuk melihat isinya. Joko Tarub sangat keheranan karena ternyata, sang istri selama ini hanya memasak satu bulir padi. Ketika Dewi Nawangwulan kembali dari sendang dan menuju dapur untuk melihat nasi yang sedang ditanak, dirinya sangat terperanjat karena bukan nasi yang sudah masak yang dilihat, tetapi masih berupa satu bulir padi utuh. Pertengkaran terjadi hingga berujung solusi yaitu ketika hendak menanak nasi maka terlebih dahulu harus menumbuk banyak bulir padi. Sebab dibutuhkan banyak padi yang sudah ditumbuk menjadi beras yang banyak untuk dapat memenuhi kebutuhan makan mereka sehari-hari.
Sejak itu saat hendak memasak nasi maka Dewi Nawangwulan harus mengawali dengan menumbuk padi agar menjadi beras terlebih dahulu dengan menggunakan lumpang (tempat menumbuk padi dari batu) atau lesung (tempat menumbuk padi dari gelondongan kayu panjang yang di lubang bagian tengah yang dirimbas menyerupai perahu kecil). Karena tiap hari timbunan padi digrobog diambil untuk ditumbuk dan dimasak maka lambat laun persediaan padi tersebut semakin hari semakin menipis hingga akhirnya Dewi Nawangwulan tanpa sengaja menemukan selendang bidadari yang berada di bawah tumpukan padi.
Sejak saat itu Dewi Nawangwulan menjadi kecewa terhadap Joko Tarub sebab dirinya menyadari jika dahulu sebenarnya yang mengambil selendang sakti pada saat dirinya mandi di sendang bersama saudari saudarinya adalah Joko Tarub. Selendang tersebut pada akhirnya dipakai dan Dewi Nawangwulan langsung menyampaikan pamit untuk kembali ke kahyangan dengan meninggalkan anak dan suaminya. Pada saat itu Dewi Nawangsih sempat berpesan pada Joko Tarub bahwa dirinya hanya akan kembali sewaktu-waktu saat Dewi Nawangsih menangis karena kehausan air susu.
Sejak saat itu Joko Tarub merawat sendiri Dewi Nawangsih hingga tumbuh dewasa. Joko Tarub sendiri setelah mencapai kedewasaan dan kematangan kemudian di dikenal dan disebut dengan julukan Ki Ageng Tarub. Dikisahkan sejak saat itu tempat tinggal Ki Ageng Tarub lambat laun juga banyak penduduk berdatangan hingga tempat tersebut menjadi sebuah kampung pemukiman. Dalam tulisan ini adalah deskripsi legenda Joko Tarub yang berada di Purwodadi. Pemukiman tersebut saat ini terletak di Desa Tarub, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah.
Dikisahkan dahulu sewaktu Dewi Nawangsih sudah beranjak dewasa suatu ketika Ki Ageng Tarub telah menerima tamu utusan dari Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit dengan keperluan untuk mengantarkan keris pusaka Kyai Mahesa Nular agar dapat dirawat oleh Ki Ageng Tarub. Adapun utusan tersebut adalah Ki Buyut Masahar dan Bondan Kejawan. Pada saat itu Ki Ageng Tarub mengetahui bahwa Bondan Kejawan adalah putra kandung Brawijaya V dan meminta untuk tinggal bersama di desa, menjadi anak angkatnya dan berganti nama menjadi Lembu Peteng. Pada akhirnya, Dewi Nawangsih menikah dengan Lembu Peteng dan dikaruniai anak bernama Ki Getas Pandawa. Dari Ki Getas Pandawa inilah hadir seorang putra bernama Ki Ageng Sela dan memiliki anak yang bernama Ki Ageng Pamanahan yang merupakan ayah pendiri Kesultanan Mataram, Panembahan Senapati ing Ngalogo.
Makam Ki Ageng Tarub terletak di Desa Tarub, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah yang disana juga terdapat makam Raden Bondan Kejawan. Dilokasi makam tersebut tumbuh besar dan rindang pohon Trembesi (Munggur) yang berdiri kekar diantara bangunan cungkup makam dan paseban untuk wisma bagi para peziarah. Letak makam Ki Ageng Tarub berada di sebuah hanggar bangunan joglo yang didominasi oleh warna hijau. Pusara makam dikelilingi pagar semen dan potongan pipa besi, dengan kelambu putih yang menutupi makam sehingga memasuki area makam akan menemukan suasana yang sakral dan keramat.
Berziarah ke Makam Ki Ageng Tarub di Desa Tarub, Tarub, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah adalah bagian relfeksi diri untuk dapat menarik pelajaran atas kehidupan tokoh masa lalu selain dan selebihnya semoga dapat mendatangkan keberkahan bagi para peziarah sebab dapat belajar untuk meneladani kealiman dan kesolehan orang yang berada di dalam kubur.
Semoga bermanfaat
Lahul Fatihah
Wallahu a’lam bish-shawabi (والله أعلمُ بالـصـواب)
Dan Allah Mahatahu yang benar atau yang sebenarnya”
----------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini diramu dari wawancara dengan Juru Kunci Makam yaitu KRT Hastono Adipura dan Pak Pariyono dan ditambah dengan referensi bacaan yaitu :
1. Babad Tanah Jawi. (terjemahan). Narasi. Yogyakarta. 2007.
2. Moedjianto. Pemikiran Kekuasaan Jawa: Pelaksanaannya oleh Raja-raja Mataram. Kanisius. Yogyakarta. 1987.
3. Slamet Muljana. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). LKIS. Yogyakarta. 2005.
4. Wikipedia
* Penulis adalah pehobi wisata ziarah sehari hari tinggal di desa.