Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

Senin, 06 Juni 2022, 1:56:00 PM WIB
Last Updated 2022-06-06T06:56:06Z
NEWSSejarah dan Budaya

SIRAH MAQOSIDANA (Sambung Ruh Ulama Nusantara) KI AGENG WONOSOBO (Wanusebo, Plobangan, Selomerto, Wonosobo)

Advertisement


Part 5

Oleh : Sofyan 

MATALENSANEWS.com-Menelisik kisah hidup Ki Ageng Wonosobo maka tak bisa dilepaskan dengan bentangan alam yang ada di bumi Wonosobo. Kisah panjang telah tertoreh dibumi berdataran tinggi yang memiliki suhu udara antara 24 - 29 Derajad Celcius dengan ketinggian 560 dari permukaan laut ini. Sebab sekurang - kurangnya terdapat 10 gunung di dataran Wonosobo dan sekitarnya yaitu Gunung Sindoro, Sumbing, Prau, Bismo, Sipandu, Lanang, Pakuwojo, Kembang, Sikunir dan Gunung Panggonan. Semua gunung gunung tersebut memiliki kisah legenda sendiri sendiri yang dikemas dalam bumbu wira cerita yang mistik dan wingit. 


Berdasarkan berbagai kisah dan bukti bukti pendukung lainnya jauh sebelum Ki Ageng Wonosobo datang ke Wonosobo, terlebih dahulu sudah dikenal beberapa tokoh yang tersohor tinggal di wilayah tersebut. Tercatat ada tiga tokoh pengelana yang sampai dikawasan ini yaitu Kyai Kolodete yang legendaris di dataran Tinggi Dieng, Kyai Karim yang melegenda didaerah Kalibeber dan Kyai Walik yang tersohor disekitar Kota Wonosobo saat ini.


Kedatangan Ki Ageng Wonosobo tidak terlepas dari misi dakwah Islamiyah sebab peradaban Wonosobo jauh sebelumnya adalah peradaban yang bercorak hindu - budha hal ini setidaknya dapat dilihat dari beberapa peninggalan seperti candi Dieng, Candi Bogang dan lain sebagainya. Bahkan kawasan Candi Dieng dipercaya sebagai pusat ritual bagi agama Hindu pada era Mataram Kuno. Hal ini bertitik tolak dengan adanya berbagai temuan terbaru berupa ondo budho yang menunjukan jika Candi Dieng adalah kompleks candi sebagai kawasan pusat pendidikan di bidang keagamaan.Demikian dikawasan tersebut juga masih menyimpan banyak misteri yang belum terungkap terkait dengan asal usul dan pendiriannya. Dikawasan Candi Dieng belum lama ini telah ditemukan artefak yang berupa tangga batu yang disebut sebagai ondo budho yang diyakini sebagai peninggalan abad tujuh dan delapan di masa Mataram Kuno. Sehingga candi ini menurut studi para ahli disebut sebut sebagai candi tertua di Jawa Tengah. 


Ki Ageng Wanasaba nama sebelumnya adalah Ngabdullah yang datang dari daerah Grobogan, Purwodadi. Berdasarkan keberadaan nisan makam orang tuanya yang sekarang secara administratif berada di Desa Tarub, Kec. Tawangharjo, Kab. Grobogan, Jateng. Dikisahkan sejak muda Kyai Ngabdullah adalah seorang santri yang tekun dan istiqomah. Sejak kecil telah mendapatkan pendidikan berbagai ilmu yang langsung diasuh oleh orang tuanya yaitu Raden Bondan Kejawan atau Arya Lembu Peteng dan Dewi Nawangsih, yang tersohor dengan kesaktian dan kedalaman ilmunya. 


Setelah dewasa Ngabdullah menghabiskan waktu untuk belajar dengan para guru guru suci di beberapa tempat. Dalam memantapkan keilmuan dengan dawuh (perintah -petunjuk) dari guru gurunya maka Ngabdullah terbiasa berkelana keluar masuk hutan dan gunung gunung yang wingit untuk melakukan tetirah dan topobroto. Hingga dikisahkan beliau sangat waskito dalam berbagai ilmu, baik ilmu kesaktian kanuragan, ilmu kasepuhan hingga ilmu kebijaksanaan hidup berupa ilmu agama dan kerohaniawanan. Kyai Ngabdullah dalam ingatan masyarakat adalah sosok yang sakti mandraguna, kebak ngelmu sipating kawruh, putus ing reh saniskara. 


Kekeramatan Kyai Ngabdullah tidak terlepas dari sanad keilmuan yang lurus dari para guru wali suci ing tanah jawi dan sebab juga ditopang dengan cikal bakal bibit kawit yang mengalir darah trahing kusuma rembesing madu dalam perpaduan nasab seorang sayid yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dengan nasab dari Wangsa Rajasa, sehinga Kyai Ngabdullah menjadi sosok yang keramat wijining atapa, tedhak andana warih.


Pengembaraan awal Kyai Ngabdullah dikawasan Wonosobo dapat terlacak melalui jejaknya yaitu di sebuah pohon besar yang tumbuh di Wanatirta puncak Gunung Sindoro yang dikenal wingit dan keramat. Selain itu Kyai Ngabdullah juga meninggalkan jejak riyadloh atau prihatin di sebuah pohon besar yang terletak di hutan Rasamala lereng Gunung Sindoro dan juga didaerah Jetis Selo Panjang yang disana terdapat pohon Walitis yang tumbuh besar, kekar dan tinggi menjulang yang dikenal sebagai pohon yang sangat keramat. Dibeberapa tempat tempat wingit tersebut beliau melakukan topomeleng mahas ing ngasepi, anelasak wana wasa, turun ing jurang terbis yang telah mengantarkan beliau pada tingkat ketinggian ilmu. 


Banyak masyarakat meyakini beliau adalah seorang Waliyullah yang keramat dan penuh mabruk. Beliau juga dikenal telah melanglang buana dikawasan Wonosobo dalam rangka menyiarkan Agama Islam. Kyai Ngabdullah dalam mensyiarkan Agama Islam dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, hati hati dan penuh welas. Sebab masyarakat Wonosobo pada saat itu sudah memiliki keyakinan agama dan ajaran hidup yang sudah mapan dan terlembaga. Kehidupan masyarakat disana telah mapan atas ajaran ilmu dari para pendahulu yang juga dikenang sangat linuwih. 


Keyakinan dan pedoman hidup masyarakat pada saat itu sudah sedemikian kuat. Struktur alam pegunungan telah menjadikan masyarakat sudah akrab dengan tanda tanda alam. Keseimbangan hidup dengan habit sosial maupun dengan flora dan fauna sudah diketahui oleh masyarakat. Kepercayaan dengan hal hal hal ghoib tentu sudah sangat familiar dengan aktifitas kehidupan sehari hari masyarakat. Sebab ritus ritus persembahan terhadap dewa dewa dan roh leluhur sudah sangat masif berlangsung dalam kehidupan masyarakat waktu itu sehingga kehidupan masyarakat waktu itu sudah terbiasa dengan segala ikhwal kesaktian dan keghoiban. 


Dengan memperhatikan kondisi masyarakat Wonosobo yang demikian maka pada saat itu untuk dapat melakukan syiar tauhid dalam agama Islam bukan perkara yang mudah sebab masyarakat waktu itu sudah memiliki pedoman hidup yang mapan dan terlembaga. Syiar Agama Islam jika tidak dilakukan dengan hati hati, cermat dan bijaksana tentu akan mendapatkan perlawanan dari tokoh dan masyarakat setempat yang justru sangat merugikan dan tidak akan membuahkan hasil kemanfaatan. Namun nampaknya dengan melihat hasilnya kini Kyai Ngabdullah  waktu itu dianggap telah mampu secara tepat dan bijaksana melakukan syiar Tauhid Agama Islam. Konon dikisahkan ajaran Islam di syiarkan oleh Kyai Ngabdullah dengan sangat tepat, penuh kasih sayang dan tanpa ada paksaan


Keberhasilan Kyai Ngabdullah menyebarkan Agama Islam waktu itu di Wonosobo pada saat ini dapat dianalisa dan dipelajari sebab dahulu beliau telah berhasil melakukan proses dialektika antara teks syariat dengan realitas budaya setempat hingga terbentuk nilai Islam teologis yang sinergi dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat masyarakat setempat. Sehingga tauhid Islam dapat diterima secara damai tanpa konflik oleh masyarakat setempat. Hal inilah yang selanjutnya terbingkai dalam kehidupan masyarakat yang toleran, harmonis, santun dan penuh kasih sayang. Kyai Ngabdullah telah meninggalkan jejak wajah Islam yang rohmatan lilalamien pada masyarakat Wonosobo. 


Dikisahkan setelah melang lang buana di lereng lereng gunung, hutan hutan dan lembah lembah maka pada akhirnya Kyai Ageng Ngabdullah sampai di dusun Wanusebo desa Plobangan Selomerto. Di wilayah tersebut beliau hidup menetap untuk memimpin dan mendidik masyarakat. Segala kebijaksanaanya di dalam memimpin masyarakat setempat nampaknya telah berhasil mensejahterakan dan memajukan kehidupan masyarakat. Kyai Ngabdullah mampu mengayomi dan membimbing masyarakat untuk mendapatkan ketenangan lahir dan batin. Karena hal tersebut pada akhirnya Kyai Ngabdullah mendapatkan julukan nama yaitu Ki Dukuh atau Ki Wanu


Dibawah kepemimpinan dan keteladanan yang mulia dari Ki Dukuh maka Dusun Wanusebo, Plobangan, Selomerto dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat berkembang. Segala keteraturan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat telah berkembang sangat pesat demikian penyebaran Agama Islam juga berkembang dengan sangat pesat sehingga pada saat itu beberapa masyarakat lebih sering menyebut Ki Dukuh dengan nama Ki Wanusebo bahkan dengan dialek setempat berubah menjadi Ki Wonosobo. 


Dikisahkan karena kemajuanya diberbagai bidang maka daerah tersebut selanjutnya berkembang menjadi daerah perdikan dibawah kekuasaan Kasultanan Demak Bintoro. Sejak saat itu Kyai Ngabdullah atau Ki Dukuh atau Ki Wanusebo mendapatkan anugrah kehormatan dengan penyebutan nama Ki Ageng Wonosobo sebab merupakan pemimpin Perdikan. Seluruh daerah kepemimpinan Kyai Wonosobo pada akhirnya disebut daerah Wonosobo yang berangkat dari penyebutan Ki Wanu Sebo. Dengan demikian Kyai Ngabdullah atau Ki Dukuh atau Ki Wanu Sebo atau Ki Ageng Wonosobo adalah leluhur cikal bakal penyebutan kawasan yang sekarang disebut dengan daerah Wonosobo. 


Sebagai pusat pemerintahan perdikan yang masih dibawah kekuasaan Kerajaan Demak Bintoro. Ki Ageng Wonosobo sebagai pimpinan perdikan pada saat itu dianggap telah membuat maju dan sejahtera wilayah tersebut demikian perkembangan syiar Agama Islam juga maju, hal ini disebabkan jika Ki Ageng Wonosobo dikenang sebagai seorang Pemimpin yang yang bijak dan karismatik. 



Ki Ageng Wonosobo sendiri secara silsilah keatas adalah putra dari Raden Bondan Kejawan atau Arya Lembu Peteng yang menikah dengan Retno Dewi Nawangsih memiliki 3 orang putra-putri yaitu Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pendowo dan Nyai Ageng Ngerang / Nyai Siti Rochmah / Nyai Roro Kasihan. Jika ditarik ketas lagi maka leluhur Ki Ageng Wonosobo adalah Prabu Brawijaya V dalam trah Wangsa Rajasa dan Syekh Jumadil Qubro sebagai sayid keturunan ke-10 dari al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. 


Pada saat itu dikisahkan Ki Ageng Wonosobo memang sudah terkenal memiliki hubungan koneksi yang luas tidak hanya di pusat Kerajaan Demak Bintoro namun beliau juga menjalin koneksi dengan Kerajaan Pajajaran sehingga dalam pernikahannya dengan Dyah Plobowangi konon yang bertindak sebagai walimatul ursy atau nasihat perkawinan adalah Syekh Aling Achmad Magribi seorang ulama kerajaan Pajajaran yang masih punya hubungan geneologi dengan Husain bin Ali bin Abu Thalib. 


Bersumber dalam lansiran https:// id. rodovid. org dalam pernikahanya dengan Dyah Plobowangi maka Ki Ageng Wonosobo memiliki keturunan yaitu Pangeran Pandanaran /Pangeran Made Pandan menikah dengan Nyai Made Pandan (Cucu Sunan Giri), berputra Ki Ageng Pakringan menikah dengan Rara Jinten berputra 4 orang  yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Manggar Putri, Ki Juru Mertani (versi1) Ki Ageng Saba menikah dengan Nyai Ageng Saba memiliki putra 2 orang  yaitu Ki Juru Mertani / Adipati Mandaraka (versi-2) menikah dengan Ratu Mas Banten (putri Raden Jaka Tingkir) berputra 3 orang yaitu Pangeran Mandura, Pangeran Juru Kiting, Adipati Jagabaya Banten. Nyai Sabinah yang menikah dengan Ki Ageng Pamanahan yang berputra 26 orang salah satunya adalah Panembahan Senopati yang merupakan Raja pertama Kerajaan Mataram Islam (1586 ‒ 1601) yang selanjutnya dikenang sebagai peletak awal geneologi dinasti Mataram Islam yang masih lestari hingga sekarang adalah Kasultanan Surakarta Hadiningrat, Kasunanan Ngayogyakarta, Pura Mangkunegaran Surakarta dan Pura Pakualaman Yogyakarta. 


Menurut Dr. Purwadi, M.Hum dalam Darah Wonosobo Mengalir dalam Diri Raja Pertama Kesultanan Mataram yang dirilis melalui http://kagama.co disebutkan jika perubahan status perdikan Wonosobo menjadi Kadipaten adalah pada saat pengukuhan Ki Ageng Wonosobo sebagai bupati pertama yang memerintah antara 1489-1529. 


Dalam masa ini disebutkan Ki Ageng Wonosobo semakin memperlihatkan sumbangsihnya untuk Kesultanan Demak. Seperti halnya saat Kesultanan membangun Masjid Agung Demak Bintara pada 1492.


Kepemimpinan Ki Ageng Wonosobo I berturut turut diteruskan oleh anak keturunanya yaitu Ki Ageng Wonosobo II yang memerintah pada 1529 – 1540. Ki Ageng Wonosobo III pada 1540 – 1582. Generasi ketiga Wonosobo ini kemudian tercatat melahirkan tokoh tokoh yang tersohor dalam masa catatan akhir kerajaan Pajang hingga Mataram Islam. Seperti dalam pernikahan Ki Ageng Wonosobo III dengan Rara Janten melahirkan Nyai Ageng Lawih (menikah dengan Arya Pangiri, Bupati Glagahwangi) Nyai Ageng Manggar (menikah menikah dengan Ki Ageng Giring) dan Nyai Ageng Sabinah (menikah dengan Ki Ageng Pamanahan) dan Ki Juru Martani yang tersohor sebagai penasehat utama Kerajaan Mataram Islam sekaligus pamomong Panembahan Senopati Ing Ngalogo. 


Dikisahkan selama Ki Ageng Wonosobo babat alas mensyiarkan Agama Islam mulai perdukuhan Wanusebo, berdiri perdikan hingga menjadi Kadipaten Wonosobo maka beliau juga dibantu oleh beberapa tokoh pinisepuh seperti Kyai Khotik dan para penderek setia atau punggawa seperti Kyai Goplem, Kyai Putih, dan Kyai Wan Haji.


Ki Ageng Wonosobo sampai dengan saat ini masih dianggap sebagai sesepuh cikal bakal Wonosobo dan tercatat pula sebagai salah satu leluhur dinasti Mataram Islam. Setelah beliau meninggal dimakamkan di Desa Plobangan, Kecamatan Selomerto Kabupaten Wonosobo. Makam Ki Ageng Wonosobo adalah salah satu makam yang dikeramatkan dan menjadi salah satu tujuan ziarah bagi masyarakat luas. 


Situs makam beliau sangat dilestarikan oleh masyarakat sekitar dan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo telah dilakukan renovasi dan pemugaran hingga komplek makam tersebut menjadi cagar budaya sebagai tujuan ziarah yang populer . Pusara Makam Ki Ageng Wonosobo berada dalam bangunan rumah berarsitektur Joglo. Nisan makam di hijabi dengan kelambu putih sehingga menciptakan kesan yang profan dan keramat. 


Disamping bangunan Joglo tersebut terdapat tiga makam kuno lain yang menurut juru kunci makam adalah pusara makam para pendahulu maupun para punggawa serta makam para penderek setia. Salah satunya adalah makam Kyai Chotik yang berada ditepian pohon beringin yang sangat tua dan besar. Makam ini dipagari dengan akar akar pohon beringin yang menjuntai sangat lebat. Pohon beringin tersebut terlihat sangat besar dan kokoh dengan diameter lebih dari 4 meter. Disekitar pusara ini juga terdapat artefak nisan kuno oleh juru kunci makam dijelaskan sebagai pusara makam dari 

Kyai Goplem, Kyai Putih, dan Kyai Wan Haji. 


Dengan memperhatikan kontur alam lereng pegunungan dataran tinggi, lenskap perkuburan dan arsitektur bangunan dilengkapi dengan tiupan sir angin maka akan semakin memperlihatkan suasana yang profan dan sakral ketika berziarah diarea perkuburan ini. 


Dengan berziarah ke Makam Ki Ageng Wonosobo semoga kita dapat mengingat kepada akhirat selanjutnya dapat menarik pelajaran berharga akan kehancuran dunia dan kefanaannya. Semoga kita semua mendapatkan ampunan dan Ridlo dari Allah SWT. 



Semoga Bermanfaat..! 

Lahul Fatihah


Wallahu a’lam bish-shawabi (والله أعلمُ بالـصـواب) 

Dan Allah Mahatahu yang benar atau yang sebenarnya”


----------------------------------------------------------------------------------

Tulisan ini diramu dari wawancara dengan Juru Kunci Makam ditambah dengan referensi bacaan yaitu :

1. Arif, A. Kholiq dan Otto Sukatno CR. Mata Air Peradaban: Dua Millenium Wonosobo. LKis Printing Cemerlang. Yogyakarta. 2010.

2. Babad Tanah Jawi. (terjemahan). Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. Narasi. Yogyakarta. 2007.

3. Bimo Jatiningjati: http://www.jatiningjati.com/2009/08/akan-banyak-orang-yang-tidak-percaya.html)

4.Purwadi. Darah Wonosobo Mengalir dalam Diri Raja Pertama Kesultanan Mataram. 

http://kagama.co.

5. Purwadi . Sejarah Raja-Raja Jawa. Media Ilmu. Yogyakarta. 2097.

6.https://wiki.edunitas.com

7.https://id.rodovid.org

8.https://way4x.wordpress.com


------------------------------------------------------------

* Penulis adalah tukang ngarit dan angon wedus sehari hari tinggal di desa.