Advertisement
Jakarta,MATALENSANEWS.com– Sehubungan dengan temuan sirup obat yang mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang diduga terkait dengan kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA), BPOM melakukan respon cepat melalui serangkaian kegiatan pengawasan, sampling, pengujian, dan pemeriksaan lebih lanjut dalam rangka perlindungan kepada masyarakat,Kamis (3/11/22).
Berdasarkan hasil intensifikasi pengawasan BPOM tersebut, ditemukan sejumlah sirup obat dan bahan baku Propilen Glikol yang tercemar EG dan DEG melebihi ambang batas yang ditetapkan.
Kepala BPOM RI, Penny K. Lukito dalam Konferensi Pers di Serang, Banten, Senin (31/10/2022) mengungkapkan, “Hasil pemeriksaan sarana produksi juga ditemukan bukti bahwa Industri Farmasi mengubah pemasok Bahan Baku Obat (BBO) dan menggunakan BBO yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dengan cemaran EG pada bahan baku melebihi ambang batas aman yaitu tidak lebih dari 0,1%. Industri farmasi juga tidak melakukan penjaminan mutu BBO Propilen Glikol yang digunakan untuk sirup obat sehingga produk yang dihasilkan TMS. Industi Farmasi juga tidak melakukan proses kualifikasi pemasok/supplier BBO termasuk tidak melakukan pengujian BBO”.
Berdasarkan temuan ketidaksesuaian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, Industri Farmasi telah diberikan sanksi administratif berupa penghentian produksi, distribusi, penarikan kembali (recall) dan pemusnahan produk. Selanjutnya pelanggaran ketentuan dan persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), kedua Industri Farmasi tersebut diberikan sanksi administratif berupa pencabutan Sertifikat CPOB untuk fasilitas produksi cairan oral non betalaktam. Dengan demikian, seluruh izin edar produk cairan oral non betalaktam dari kedua Industri Farmasi tersebut dicabut.
Dengan perkembangan kasus ini, BPOM bersama Bareskrim Polri menindaklanjuti temuan hasil pengawasan dengan melakukan operasi bersama terhadap dua industri farmasi, yaitu PT Yarindo Farmatama (PT Yarindo) dan PT Universal Pharmaceutical Industries (PT Universal). Kedua industri farmasi didapati bahwa dalam kegiatan produksi sirup obat telah menggunakan bahan baku pelarut Propilen Glikol dan produk jadi mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas. Temuan tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan melalui sejumlah karyawan, dokumen, sarana, dan produk terhadap 2 (dua) Industri Farmasi.
“Dari hasil pemeriksaan dan pendalaman, PT Yarindo membeli bahan baku Propilen Glikol produksi DOW Chemical Thailand LTD dari CV Budiarta, sedangkan PT Universal membeli bahan baku Propilen Glikol produksi DOW Chemical Thailand LTD dari PT Logicom Solutions.” Ungkap Kepala BPOM RI lebih lanjut.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM telah melakukan pengamanan dan penyitaan terhadap barang bukti kedua industri tersebut. Pada PT Yarindo ditemukan sejumlah barang bukti yaitu Flurin DMP Sirup (2.930 botol), Bahan Baku Propilen Glikol produksi DOW Chemical Thailand LTD (44,992 Kg), Bahan Bahan Pengemas Flurin DMP Sirup (110.776 pcs), dan sejumlah dokumen (catatan bets produksi Flurin DMP Sirup dan sertifikat analisis bahan baku Propilen Glikol).
Sedangkan pada PT Universal, ditemukan barang bukti berupa Unibebi Demam Syrup 60 ml (13.409 botol), Unibebi Demam Drops 15 ml (25.897 botol), Unibebi Cough Syrup 60 ml (588.673 botol), bahan Baku Propilen Glikol produksi DOW Chemical Thailand LTD (18 drum) dan sejumlah dokumen (catatan bets produksi Unibebi Cough Syrup, Unibebi Demam Syrup, Unibebi Demam Drops, dan Sertifikat analisis bahan baku Propilen Glikol).
PPNS BPOM juga melakukan pendalaman pemeriksaan kembali ke CV Budiarta sebagai pemasok bahan baku dan menemukan sejumlah 64 (enam puluh empat) drum Propilen Glikol produksi DOW Chemical Thailand LTD dengan 12 nomor bets berbeda. Temuan tersebut saat ini sedang dilakukan pengujian laboratorium untuk membuktikan adanya kandungan EG dan DEG.
Berdasarkan keterangan saksi dan ahli, Kepala BPOM RI, Penny K. Lukito menyebut telah terjadi dugaan tindak pidana dengan unsur pasal memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu, sebagaimana diatur dalam Pasal 196 Jo. Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) Undang–Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. “Pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah” terang Kepala BPOM.
Selain itu terdapat unsur pasal lain yaitu memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar rupiah.
Kedepannya, BPOM akan melakukan rencana tindak lanjut dengan melaksanakan gelar perkara bersama Bareskrim Polri guna menetapkan tersangka, melakukan pemeriksaan saksi-saksi lain, meminta keterangan Ahli Pidana dan Ahli Farmasi. Tim gabungan juga terus melakukan penyelidikan, penyidikan lanjutan terhadap distributor bahan kimia yang diduga telah memasok bahan baku kepada CV Budiarta, dan menyelesaikan berkas perkara.
“BPOM berkomitmen untuk menuntaskan perkara ini dan terus berkoordinasi dengan Bareskrim Polri dan stakeholder lainnya dalam menangani dugaan tindak pidana yang berhubungan dengan cemaran EG dan DEG pada sediaan farmasi berbentuk sirup obat.” Jelas Penny K. Lukito.
BPOM juga terus melakukan perluasan sampling dan pengujian terhadap produk sirup obat yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG. “Hasilnya, terdapat 3 (tiga) produk yang melebihi ambang batas aman yaitu Paracetamol Drops, Paracetamol Sirup Rasa Peppermint dan Vipcol Sirup produksi PT Afifarma”, jelas Kepala BPOM lebih lanjut.
Penelusuran lebih lanjut ditemukan bahan baku yang digunakan tidak memenuhi persyaratan. Untuk itu terhadap semua produk sirup cair PT Afifarma yg menggunakan 4 pelarut Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol akan dilakukan penghentian proses produksi dan distribusi serta akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Produsen ini juga dikenakan sanksi administratif berupa penarikan dan pemusnahan produk obat. Pendalaman juga akan dilakukan untuk melihat adanya pelanggaran dan dugaan tindak pidana terkait cemaran EG dan DEG pada sirup obat ini.
BPOM melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) di seluruh Indonesia secara terus-menerus mengawal proses penarikan dari peredaran terhadap sirup obat yang mengandung cemaran EG/DEG melebihi ambang batas aman. Penarikan mencakup seluruh outlet antara lain Pedagang Besar Farmasi, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Toko Obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan.
Selain melakukan pemeriksaan ke sarana produksi, BPOM juga melakukan pengawasan secara daring atau online berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 8 tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan secara Daring sebagaimana telah diubah dengan Peraturan BPOM Nomor 32 Tahun 2020. BPOM secara berkesinambungan melaksanakan patroli siber (cyber patrol) pada platform situs, media sosial, dan e-commerce untuk menelusuri penjualan produk yang dinyatakan tidak aman. Sampai dengan 26 Oktober 2022, BPOM telah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) untuk melakukan penurunan (takedown) konten terhadap 6001 link yang teridentifikasi melakukan penjualan sirup obat yang dinyatakan tidak aman.
BPOM menegaskan agar pelaku usaha konsisten dalam menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Pelaku usaha juga harus memastikan bahan baku yang digunakan sesuai dengan standar dan persyaratan serta obat yang diproduksi aman sesuai standar dan mutu serta mematuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan yang telah ditetapkan oleh regulator baik secara nasional maupun internasional.
BPOM mengimbau masyarakat untuk lebih waspada, menjadi konsumen cerdas, dan memperoleh obat melalui sarana resmi, yaitu di apotek, toko obat berizin, puskesmas atau rumah sakit terdekat atau membeli obat secara online hanya dilakukan di apotek yang telah memiliki izin Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi (PSEF). Masyarakat juga diharapkan selalu menerapkan Cek KLIK (Cek Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa) sebelum membeli atau menggunakan obat. Pastikan kemasan produk dalam kondisi baik, baca informasi produk yang tertera pada label, dan produk telah memiliki izin edar BPOM serta belum melebihi masa kedaluwarsa.(Win.202024)
Sumber : Humas BPOM RI