Advertisement
SUMEDANG,MATALENSANEWS.com- Peletakan batu pertama Tol Cisumdawu dilakukan pada 29 November 2011 lalu, tepatnya di interchange Rancakalong Desa Citali, Kelurahan Pamulihan, Kabupaten Sumedang. Saat itu
Tol Cisumdawu diharapkan akan selesai pada tahun 2016 bersamaan dengan selesainya proses pembangunan Bandara Udara Internasional Kertajati.
Namun, setelah 9 tahun berlalu proyek tol Cisumdawu tak kunjung selesai.
Presiden Jokowi, pada 7 Juli 2020 telah mengorek penyebab terhambatnya proyek tol Cisumdawu hingga saat ini ternyata masih terkendala pembebasan lahan.
Hal itu membuat Jokowi geram dan meminta segera diselesaikan.
"Ini saya minta segera diselesaikan, dirampungkan semuanya. Kita butuh percepatan karena ini akan menyangkut juga Bandara Kertajati. Saya melihat ini banyak kendala aturan teknis dan prosedur administrasi yang terus berulang- ulang kita alami dan tidak ada penyelesaian secara permanen. Penyelesaiannya secara kasus per kasus. Tidak kita buat regulasi yang sederhana, yang ringkas, yang cepat. Sebetulnya solusinya itu," tegasnya.
Hingga kini, Tol Cisumdawu yang rencananya akan 'launching' Februari 2023, masih menyimpan 'luka' atas pembebasan lahan warga terdampak yang tak kunjung usai.
Yayat (67 tahun), koordinator himpunan warga terdampak pembangunan jalan tol Cisumdawu bersama 552 warga lainya saat ditemui di kediamannya di Desa Pamekaran, Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang mengungkapkan kekecewaannya atas dampak tol tersebut.
"Kami yang berkumpul di sini warga Desa Pamekaran, Desa Ciherang Kecamatan Rancakalong, Desa Sakurjaya Kecamatan Ujungjaya, semua sudah 13 tahun bertahan menahan 'luka', sudah cukup lama kami menderita, tanah yang sebelumnya menjadi ladang pencaharian kami sudah lama tidak bisa (digarap - red) lagi. Awalnya lahan warga terdampak pembangunan tol Cisumdawu dijanjikan akan diganti untung, tapi ini malah buntung, seolah hak kami dirampas begitu saja," Ungkap Yayat, Minggu, (22/01/2023)
Yayat bersama warga lainnya menekankan bahwa himpunan warga terdampak sangat mendukung pembangunan jalan tol Cisumdawu.
"Kami sangat mendukung program pemerintah, tidak ada warga yang ingin menghambat proses pembangunannya, hanya kami menuntut apa yang menjadi hak kami," tegasnya.
Yayat mengajak dan menunjukkan lahannya yang dulu ladang pertanian, telah berubah menjadi hamparan beton dan aspal keras.
Yayat menuturkan banyak sekali praktek- praktek yang cacat administrasi.
"Contohnya, kepala desa membentuk tim tujuh untuk menangani permasalahan ganti untung lahan, itu saya tidak tahu kapan ada musyawarah membentuk tim tujuh, yang kami rasakan mereka turun meminta berkas dokumen tanah milik warga tanpa kejelasan progresnya bahkan sekarang sudah tidak ada lagi dokumen tersebut. Kemudian BPN saat meminta warga menandatangani berkas hanya diperlihatkan bagian untuk tanda tangan saja tanpa bisa diketahui atau dibaca dulu berkas apa itu, alasannya untuk mempercepat proses karena melayani ratusan warga, kenapa mesti begitu," tutur Yayat.
Belum lagi masih terngiang di benak Yayat dan ratusan warga lainya yakni pernyataan dari Kepala Desa Pamekaran di hadapan warga saat diminta untuk menerima berapapun jumlah uang ganti rugi lahannya tanpa harus protes.
"Jadi waktu itu Kepala Desa bilang begini, sudah terima saja uang ganti ruginya, kalau tidak diterima ya bisa jadi uang hilang tanah pun hilang, jangan melawan pemerintah, tidak akan menang, langit bumi dan segala isinya, lautan dengan semua ikannya itu milik pemerintah, tidak ada milik masyarakat," terangnya.
Sementara di tempat terpisah, seorang ibu dengan raut wajah yang berusaha menahan 'kenyataan pahit' lahannya ikut terdampak pembangunan namun tidak mendapatkan penggantian yang selayaknya juga menjelaskan hal yang sama.
"Saya merasa sakit, rumah tempat tinggal yang kami huni bersama keluarga, berada di perkampungan bersama warga lainnya kini menjadi lintasan jalan tol, rumah saya hanya dinilai 24 juta saja dan tanah sawah saya belum juga mendapatkan ganti rugi, hanya janji- janji saja. Saya rakyat kecil dibohongi terus, sedangkan ada tanah yang diatasnya terdapat kandang ayam bisa mendapat ganti rugi 1,3 milyar, padahal lokasinya jauh hampir 1 kilometer dari lintasan tol," keluhnya.
Disinggung mengenai nilai yang didapat tidak sesuai harapan,ia mengungkapkan.
"Waktu itu katanya mau ada 'appraisal', nyatanya tidak pernah ada itu, lalu pengukuran dari pihak BPN pun tidak transparan. Saya tidak menyaksikan kapan ada pengukuran dan saya disuruh tanda tangan saja. Saya merasa ditekan untuk terima saja hasil pengukuran tanpa saya saksikan, sedangkan lahan kandang ayam itu bisa sampai dapat ganti rugi 1,3 milyar karena lahan itu yang saya tahu milik perangkat Desa Pamekaran anggota tim tujuh, dan masih banyak lagi kejanggalan dengan maraknya muncul rumah hantu, yang tak lain bangunan dadakan yang didirikan semi permanen terbuat dari bahan GRC. Itu bisa mendapat ratusan juta, banyak bukti dan saksi, bangunan itu berdiri dilahan milik oknum perangkat desa, oknum BPN," terangnya.
Masyarakat yang belum mendapatkan hak dan keadilan terkait ganti untung yang belum terpenuhi dan bahkan masih banyak lagi masyarakat yang belum menerima sepeserpun ganti rugi hilangnya rumah dan lahan dari dampak pembangunan jalan tol Cisumdawu berharap kepada Presiden Jokowi untuk meninjau dan menyelesaikan permasalahan yang ada dibawah.
Masyarakat berharap keterbukaan dan transparansi terkait harga yang sudah ditetapkan Pemerintah Pusat untuk penggantian lahan dan rumah yang terdampak pembangunan jalan tol ini karena masyarakat merasa harga penggantiannya dinilai sangat 'mendholimi' masyarakat. Bukannya ganti untung malah buntung bahkan lahan pertanian wargapun menjadi terbengkalai dan tidak bisa digarap karena irigasi pengairan yang ada sudah tidak berfungsi lagi.
Banyak warga yang menderita dengan hilangnya mata pencaharian mereka dan bingung harus bagaimana untuk mengais rejeki menutupi kebutuhan mereka.
Perintah tegas Presiden Jokowi kepada Menteri ATR/ BPN dan Menkopolhukam agar 'sikat' habis mafia tanah masih jauh dari harapan.(tim)