Advertisement
Opini oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
MATALENSANEWS.com-Masa jabatan Jokowi akan segera berakhir. Hanya satu tahun lagi. Jokowi akan lengser pada 20 Oktober 2024. Tapi, pengaruh Jokowi akan lenyap lebih cepat lagi. Setelah pilpres 2024 berakhir. Ketika ada presiden baru, Jokowi akan ditinggal.
Menjelang lengser, banyak permasalahan di pemerintahan Jokowi bermunculan.
Pertama, partai politik pendukung pemerintah terpecah belah. Gara-gara Jokowi mau cawe-cawe dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024. Mau atur koalisi untuk pemerintahan yang akan datang.
Partai Nasdem terlempar dari koalisi pendukung pemerintah. Karena Nasdem mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024. Sedangkan Jokowi sangat anti Anies. Terlihat jelas dari sikap Jokowi.
Kemudian, PKB keluar dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang diinisiasi oleh Gerindra dan PKB. Lagi-lagi, akibat campur tangan Jokowi yang terlalu dalam. Jokowi mengatur Golkar dan PAN masuk ke dalam koalisi, membuat PKB tidak nyaman, diacuhkan, dan akhirnya hengkang. Bahkan nama koalisi diubah menjadi Koalisi Indonesia Maju, tanpa sepengetahuan Cak Imin.
Selanjutnya, yang lebih parah, konflik antara Jokowi dengan Megawati / PDIP, partai yang mengusung dan menjadikan Jokowi presiden dua periode. Masalahnya sepele. Jokowi mau berperan bagaikan ‘God Father’. Tetapi gagal. Jokowi tidak bisa merebut Ganjar Pranowo dari pengaruh Megawati. Ternyata, Ganjar tegak lurus kepada Megawati. Ganjar bukan tipe pengkhianat partai. Padahal, Ganjar sebelumnya merupakan pilihan utama Jokowi untuk capres 2024.
Jokowi kecewa. Dukungan capres 2024 dialihkan kepada Prabowo. Langkah Jokowi semakin mempertajam konflik dengan Megawati. Langkah Jokowi juga membuat PKB berpisah dengan Gerindra, dan kemudian bergabung dengan Nasdem. Cak Imin bahkan menjadi cawapres Anies Baswedan. Cak Imin dan PKB happy, mampu menunjukkan sebagai partai berdaulat, yang berontak dari tekanan politik yang kurang beradab.
Perseteruan antara Jokowi dengan beberapa partai politik pendukung pemerintah, termasuk PDIP, semakin meruncing. Setiap waktu bisa terjadi perang terbuka. Pada beberapa kasus, sudah dimulai. Nasdem mulai mengkritisi kebijakan Jokowi. Kereta cepat, utang yang semakin besar, dan banyak lainnya. Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, juga sempat kritik food estate yang dianggap gagal.
Selanjutnya, berbagai permasalahan yang tidak kalah memprihatinkan juga mulai terbongkar. Mega korupsi dan mega skandal bermunculan. Melibatkan pejabat tinggi negara sampai tingkat menteri.
Korupsi BTS Rp8 triliun di Kemenkominfo mempertontonkan perilaku dan moral barbar. Karena juga melibatkan oknum BPK dan DPR. Menteri Kominfo, Johnny Plate, menjadi tersangka dan ditahan.
Sampai saat ini, sudah ada 13 tersangka korupsi BTS. Dipastikan, daftar tersangka masih akan bertambah terus.
Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, sudah diperiksa Kejagung, dan akan diperiksa lagi, karena diduga menerima aliran dana korupsi Rp27 miliar.
Mega skandal perampokan nikel di Mandiodo, Sulawesi Tenggara, terbongkar. Perampokan nikel sampai merusak kawasan hutan ratusan hektar. Pelaku utamanya orang dekat istana, Windu Aji Sutanto, yang sekarang ditahan Kejagung. Windu Aji Sutanto juga terlibat kasus BTS. Windu Aji Sutanto adalah tim sukses Jokowi pada pilpres 2014 dan 2019.
Kemudian, kasus penyelundupan bijih nikel mentah sebanyak 5 juta ton terungkap. Pelakunya diduga orang-orang tertentu itu saja. Tinggal tunggu waktu, akan terbongkar tuntas.
Skandal dugaan pencucian uang Rp349 triliun di kementerian keuangan masih dilindungi. Sebagian kasus mulai terbuka. Antara lain kasus penyelundupan emas batangan yang melibatkan pegawai Kementerian Keuangan.
Pada kasus Rempang, pemerintahan Jokowi keteteran. Investasi ala kolonial, dengan mengusir masyarakat setempat, mengundang perlawanan besar-besaran dari seluruh penjuru Indonesia. Jokowi melunak. Tapi belum mundur.
Masih banyak kasus mega korupsi dan mega skandal lainnya yang sudah tercium tapi masih terpendam. Antara lain kasus korupsi di Kementerian Perdagangan. Yaitu korupsi izin ekspor minyak goreng yang belum tuntas, kemudian muncul dugaan korupsi impor gula. Tinggal tunggu waktu kapan meledak.
Yang terbaru, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo jadi tersangka korupsi. KPK menggeledah rumah dinas menteri ketika sang menteri berada di luar negeri. Kasus Menteri Pertanian yang merupakan kader Nasdem bisa berbuntut menjadi ‘perang terbuka’ antara (pemerintahan) Jokowi dan mantan partai-partai politik pendukungnya. Tanda-tanda untuk itu sudah terlihat.
Limpo melaporkan pimpinan KPK atas dugaan pemerasan ke Polda Metro Jaya. Laporan Limpo diproses sangat cepat, naik ke penyidikan. Ajudan Firli Bahuri, Ketua KPK, sudah diperiksa.
KPK kemudian menahan Limpo pada Kamis malam, sehari sebelum jadwal pemanggilan. Ada apa?
KPK juga mengatakan, ada aliran dana dari Limpo ke partai Nasdem. Pernyataan KPK ini dapat dimaknai sebagai serangan terbuka kepada Nasdem.
Syahrul Yasin Limpo mengundurkan diri sebagai Menteri Pertanian. Jokowi menunjuk pelaksana tugas (plt) Menteri Pertanian.
Selang beberapa hari, terdengar kabar Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan masuk rumah sakit. Nampaknya, gangguan kesehatan Luhut cukup serius, sehinggga Jokowi harus menunjuk Erick Thohir sebagai plt Menko Marves.
Dalam waktu seminggu, menjelang setahun lengser, kabinet Jokowi berantakan.
Kondisi ekonomi juga sangat memprihatinkan. Harga pangan melonjak tajam. Pembelian beras di ritel modern dibatasi. Harga BBM naik lagi.
Cadangan devisa turun dari 144,9 miliar (2021) menjadi 137,2 miliar (2021), dan turun lagi menjadi 134,9 miliar dolar AS pada September 2023.
Pelemahan ekonomi juga diikuti pelemahan kurs rupiah yang sempat tembus Rp15.700 per dolar AS.
Semua ini, menunjukkan posisi Jokowi semakin lemah dan terpojok.
Saat ini, Jokowi hanya bisa bergantung pada Prabowo. Begitu Prabowo hengkang, Jokowi bagaikan anak ayam kehilangan induk. Bagaikan layang-layang putus tanpa tahu akan mendarat di mana.(**)