Advertisement
Jakarta|MATALENSANEWS.com– Bareskrim Polri mengungkap keterlibatan kepala desa dan operator SPBU dalam kasus penyalahgunaan barcode MyPertamina untuk pembelian BBM subsidi jenis solar secara ilegal di Karawang, Jawa Barat, dan Tuban, Jawa Timur.
"Dari hasil penyelidikan, barcode-barcode ini didapatkan melalui rekomendasi kepala desa. Mereka mengumpulkan surat keterangan dari petani yang berhak mendapat BBM subsidi, lalu barcode tersebut digunakan untuk membeli solar bersubsidi," ujar Dirtipidter Bareskrim Polri, Brigjen Pol Nunung Syaifuddin, dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Kamis (6/3).
Polisi telah menyita 24 barcode solar dari tempat kejadian perkara (TKP) di Karawang serta 45 barcode dari TKP di Tuban. Di salah satu TKP di Jawa Timur, para pelaku menggunakan kendaraan yang sama secara berulang untuk membeli BBM subsidi dengan memanfaatkan 45 barcode berbeda. Barcode tersebut disimpan dalam ponsel milik salah satu tersangka.
Selain itu, polisi juga menduga adanya kerja sama dengan operator SPBU dalam praktik ilegal ini. "Mereka mendapatkan barcode dengan bantuan operator SPBU. Siapa pun yang terlibat akan kami tindak, termasuk yang ada di Karawang," tambah Brigjen Pol Nunung. Saat ditanya lebih lanjut mengenai keterlibatan kepala desa dan operator SPBU, ia menegaskan bahwa pihaknya masih melakukan pendalaman.
"Kalau dari keterangan saksi memang mengarah ke sana, pasti akan kami tangkap," tegasnya.
Terkait distribusi BBM subsidi yang disalahgunakan, polisi masih menyelidiki apakah bahan bakar tersebut dijual di daerah sekitar atau dikemas ulang untuk dijual ke tempat lain. "Kami menemukan gudang di TKP, dan dari hasil pemeriksaan tersangka nanti, akan diketahui ke mana saja BBM subsidi ini dijual," kata Nunung.
Dari aksi tersebut, para tersangka meraup keuntungan hingga Rp 4,4 miliar. Polisi telah mengamankan delapan tersangka, yakni BC, K, dan J di Tuban, serta LA, HB, S, AS, dan E di Karawang. Sementara itu, dua tersangka lainnya berinisial COM dan CRN masih buron dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
“Jadi ada dua DPO untuk TKP Tuban,” jelas Nunung.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 40 Angka IX Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Mereka juga dijerat Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal enam tahun serta denda hingga Rp 60 miliar.(ErAngga)